Lihat ke Halaman Asli

Legal Alien

Diperbarui: 26 Agustus 2016   03:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Saya sengaja meletakkan judul salah satu lagu tenar milik Sting sebagai judul tulisan kali ini. Bukan sembarangan saya menaruh kata legal, selain karena saya memang berkecimpung di dunia hukum, status saya sebagai orang asing alias alien adalah juga legal di Australia ini. Maksa dikit ga papa lah. Kali ini saya hanya ingin bercerita sedikit tentang sulitnya menjadi minoritas. 

Sebagai muslimah, dan orang Asia pula, tentu saya adalah segelintir bagian saja, jadi jelaslah saya adalah minoritas, yang tentu membawa beragam konsekuen. Diantaranya adalah saya harus sepintar mungkin menyiasati agar tidak terlalu dipandang aneh sehingga kemudian menyusahkan diri saya sendiri. 

Salah satu yang menjadi masalah besar bagi saya pada pada awal kedatangan saya di sini (juga di negara-negara barat lainnya) adalah toilet kering. Membayangkan harus cebok dengan menggunakan paper/tisu saja sudah membuat bergidik, belum lagi perasaan tidak bersih sehingga mengakibatkan saya selalu gelisah sepanjang hari. Akhirnya saya memutuskan untuk membawa botol kecil setiap ke kamar mandi. Selesai sampai disitu? tidak. Beberapa kali saya menemukan pandangan aneh atau senyum kecil plus anggukan bahwa mereka mencoba mengerti. 

Salah seorang phd student teman saya memberanikan diri bertanya ngapain saya bawa-bawa botol ke kamar mandi, satunya terang-terangan menegur bahwa jangan minum air kamar mandi karena sudah pasti tidak hygienis. Saya biasanya hanya tersenyum. Jika itu teman saya akan menerangkan pelan-pelan bahwa saya terbiasa membersihkan diri dengan air, jika bukan, hanya sekilas ketemu misalnya, maka saya hanya tersenyum lalu kabur secepat kilat.

Hal kedua, wudhu saat waktu sholat tiba. Jangan membayangkan ada kran wudhu semudah kita menemukan di Indonesia. Awalnya saya wudhu di kamar mandi, dan pasang muka tebal menaikkan kaki satu demi satu ke wastafel. Saya harus pinta-pintar pun membaca situasi dimana tidak banyak orang ke toilet. Cara kedua adalah hanya mengusap-usap kaki saja, tapi ini pun sama merepotkannya karena harus melepas kaos kaki, sepatu plus menyingsingkan celana atau rok di bawah tatapan heran orang-orang yang kebetulan ke kamar mandi. 

Belum lagi menghadapi resiko ditegur karena lagi-lagi dianggap tidak hygienis dan merusak kesehatan orang lain. Akhirnya saya sekali berwudhu untuk dzuhur, akan berusaha menghindari segala bentuk perbuatan yang membatalkan wudhu, termasuk rela menahan kencing dari satu waktu sholat ke waktu sholat lainnya. Solusi lain yang paling saya sukai adalah berwudhu di kamar mandi yang diperuntukkan untuk mereka yang menyandang disabilitas. Lumayan tenang karena saya bisa buka jilbab dan menaikkan kaki sesuka saya tanpa perlu dipandang aneh karena toilet disabilitas tersebut notabene lengkap dan hanya satu orang yang bisa masuk.

Masalah wudhu selesai. Lanjut masalah sholatnya dimana. Dimanapun jadilah. 

"be yourself, no matter what they say..."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline