"Jangan samantangan lawas bagana di luar, lalu kada ingat lagi burit panci"*
Acapkali mendengar sindiran semacam itu dilontarkan oleh beberapa rekan terhadap rekan lain yang sedang pulang kampung. Sindiran tersebut terucap mungkin karena sang rekan menilai temannya tersebut bersikap petantang peteteng, penuh gaya, dan parahnya lagi, tidak mampu (lupa?) berbahasa kampung sendiri dengan dalih sudah terlampau lama berbahasa "loe gue" atau "you and I" atau bahasa lainnya yang dianggap produk luar. Kita memang sering silau dengan apapun yang berasal dari luar, bahasa Jepang dianggap lebih keren dari bahasa Indonesia, langgam Jakarta lebih terasa modern dibanding bahasa banjar atau bahasa pahuluan, merk baju Zara lebih terasa menunjukkan style jika disandingkan dengan penjahit lokalan (yang ternyata malah sering lebih mahal), dan seterusnya. Tapi kita lupa berkaca, bahwa pulang adalah kembali ke asal. Bahwa salah satu tujuan kita pulang adalah demi mempererat akar kita.
Disisi lain, memang perubahan gaya hidup tidak dapat dihindarkan. Perantau yang bertungkus lumus di perantauan mau tidak mau akan berubah dan berusaha beradaptasi dengan lingkungan baru. Para mahasiswa yang melanjutkan kuliah di luar daerah, para pekerja yang membiarkan nasib membawa mereka meninggalkan kampung halaman, tentu berharap bahwa ketika pulang mereka mampu menunjukkan perubahan tersebut. karena apalah gunanya air mengalir jika tidak menjadi lebih jernih?
*jangan mentang2 lama tinggal di luar lupa pada akar sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H