Lihat ke Halaman Asli

Pak Beye dan Logika Pesantren Jadul

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Komjen Polisi Timur Pradopo menjadi calon Kapolri pilihan Pak Beye. Calon Kapolri rasa Cikeas ini menjadi ironi Setgab Koalisi pemerintahan Pak Beye.Alih-alih memantapkan nilai dan visi demi konsistensi terlaksananya sistem demokratis, Setgab Koalisi justru menjadi hulu berbagai keputusan strategis, tapi kontroversial. Pilihan Pak Beye tadi, misalnya, telah menyulut tiga persoalan.

Pertama, Pak Beye memandang sebelah mata kontrol sosial media nasional sebulan soal siapa antara Komjen Polisi Nanan Sukarna dan Irjen Polisi Imam Sujarwo menjadi Kapolri, demi reformasi internal Polri khususnya dan penegakan hukum umumnya. Kedua, Pak Beye menyulut perang terbuka antara pimpinan DPR dan sejumlah anggota Komisi III DPR. Perseteruan bertolak dari perbedaan pandangan soal siapa dan kapan calon Kapolri bertemu DPR. Pimpinan DPR dari Setgab Koalisi telah mengundang dan berdialog dengan calon Kapolri versi Cikeas di Senayan tanpa prosedur yang lazim di Komisi III DPR.Ketiga, Pak Beye resisten terhadap terbagai kritikan atas calon Kapolri karbitan itu dengan alasan bahwa kritikan masyarakat hanya agenda politis terselubung parpol tertentu.

Tiga persoalan ini mengindikasikan Pak Beye mengendalikan Setgab Koalisi dengan gaya karismatis seperti di pesantren jadul.Karisma kiai di pesantren merupakan faktor dominan untuk membuat keputusan strategis mengingat pesantren adalah ibarat kerajaan kecil. Apapun bentuk tindakan dan respons sang kiai merupakan pilihan terbaik bagi pesantren, terlepas adanya penilain negatif dari pihak lain di dalam atau pun dari luar pesantren. Pola pemikiran yang deduktif-dogmatis seperti ini merupakan corak yang mendominasi dinamika pesantren.

Pemikiran deduktif-dogmatis Pak Beye pun amat efisien dan efektif mengendalikan Setgab Koalisi sebab ada 75% kursi legislatif menopang keputusan Pak Beye. Pak Beye telah melakukan kekeliruan karena memandang sebelah mata kekuatan politik alternatif seperti media masa dan Indonesian Police Watch (IPW), yang kritis terhadap bahaya politisasi jabatan Kapolri. Politisasi itu menciptakan independensi Polri dalam penegakan hukum. Jadi, keberadaan Setgab Koalisi sesungguhnya tidak lebih dari sekadar komplementer (pelengkap) untuk memperkuat ekspansi kekuasaan Demokrat melalui Pak Beye ke jabatan-jabatan strategis untuk konsolidasi 2014.

Idealnya, koalisi dalam sistem demokrasi seharusnya membentuk kepemimpinan yang memperkokoh mekanisme sistemik agar legislatif, eksekutif, dan yudikatif bekerja dalam kaidah-kaidah hirarkis dan fungsionalnya masing-masing dengan tingkat efisiensi, efektivitas dan produktivitas yang tinggi. Hal ini berarti Setgab Koalisi Pak Beye seharusnya menghasilkan berbagai kebijakan yang membawa perubahan besar dan mendasar bagi kesejahteraan rakyat, bukanjustru menjadi pendobrak berbagai akses ketidakadilan dalam hidup berbangsa dan bernegara di NKRI.

(Lelo Yosep, Pengurus DPD HANURA DKI Jakarta dan Ketua Atlasia Stata)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline