Lihat ke Halaman Asli

Lelly Muridi Z.Z.

Seorang mahasiswi Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya yang suka menulis

Pasal 293 RUU KUHP, Perlukah Disahkan?

Diperbarui: 13 Agustus 2019   23:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada postingan yang sebelumnya, saya telah menulis tentang pemidanaan terhadap tindak pidana santet yakni dalam Pasal 545, 546, 547 KUHP. Perlu diketahui bahwa pemidanaan santet juga dibahas dalam RUU (Rancangan Undang-Undang) KUHP yakni Pasal 293. Namanya saja Rancangan, tentu masih belum disahkan dong.. :)

Sebelumnya, mungkin dari kita ada yang masih belum mengerti arti dari "santet" itu sendiri. Arti dari santet pun beraneka ragam tergantung siapa yang mendefinisikan, karena pada umumnya perbuatan santet tidak ada dalam satu wilayah saja melainkan banyak daerah di Indonesia khususnya jawa. Masyarakat mengartikan santet sebagai suatu upaya atau tindakan untuk mencelakai orang lain dengan cara menggunakan ilmu hitam. Kata santet sebenarnya hanya istilah saja, ada beberapa daerah yang menyebutnya guna-guna, hipnotis, dan gendam. 

Media untuk melakukan santet biasanya menggunakan boneka, rambut, foto, dan lain sebagainya. Perbuatan ini dilakukan karena beberapa faktor yaitu untuk menjatuhkan urusan bisnis, menyebabkan perceraian atau keretakan rumah tangga, bahkan sampai menghilangkan nyawa orang lain. 

Dalam proses melakukan perbuatan tersebut, biasanya pelaku datang kepada dukun santet atau seseorang yang diyakini mahir dalam hal ilmu goib. Menurut pernyataan masyarakat setempat, biaya yang dikeluarkan untuk membayar dukun santet pun cukup fantastis yakni mulai dari ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah. 

Parameter keberhasilan suatu pasal dalam peraturan perundang-undangan adalah jika peraturan tersebut dinilai adil bagi pencari keadilan dan memberi efek jera bagi pelaku tindak pidana. Pertanyaan yang sering timbul adalah "apakah santet dapat dikatakan sebagai tindak pidana?". Nah menurut pendapat penulis, perbuatan santet ini perlu untuk dikriminalisasikan. 

Dengan merujuk dari arti Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI: 1998), kriminalisasi adalah proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dikategorikan sebagai peristiwa pidana tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat. 

Arti mudahnya adalah suatu perbuatan yang awalnya bukan tindak pidana dapat menjadi tindak pidana dengan menemukan sebab akibat terjadinya. Oleh karena itu, melihat dari efek yang ditimbulkan dari perbuatan santet ini sudah sepantasnya dikategorikan sebagai tindak pidana.

Pasal 293 RUU KUHP tersebut merumuskan:

(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental dan fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga).

Bunyi pasal di atas tidak jauh beda dengan yang ada dalam KUHP, perbedaannya adalah orang tersebut lah yang menyatakan bahwa memang memiliki ilmu gaib dan menjadikannya sebagai mata pencaharian yang menyebabkan celakanya orang dan penambahan hukumannya saja menjadi 1/3 apabila perbuatan tersebut dimaksudkan untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline