Lihat ke Halaman Asli

Stefanus Ajie

Stefanus Ajie

Belajar Visual Storytelling dari Wayang

Diperbarui: 9 November 2020   02:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wayang berkembang dari sisi visual maupun isi ceritanya sesuai dengan laju zaman, seperti yang tersaji dalam pementasan Wayang Kampung Sebelah

Hari Wayang Nasional yang diperingati setiap tanggal 7 November, bukan hanya hanya sebuah penghargaan untuk wayang-wayang dari Jawa saja.

Penghargaan ini dipersembahkan untuk semua bentuk visual storytelling tradisional yang hidup di berbagai suku dan daerah di Indonesia. Dari Wayang Golek di Tanah Pasundan hingga Hudoq di Bumi Dayak, semuanya itu merupakan medium untuk bertutur, menyampikan kearifan lokal dari leluhur untuk generasi berikutnya.

Kreatifitas dalam sebuah proses transfer ilmu dan pewarisan budaya melalui visual storytelling, bisa selalu menjadi sebuah pembelajaran yang berharga untuk generasi sekarang dan generasi selanjutnya.

Melihat budaya wayang sebagai bentuk visual storytelling, membawa kita dalam pembelajaraan tentang sejarah bagaimana leluhur kita bertutur. Tahapan sejarah ini mungkin bisa berbeda untuk tiap suku atau daerah, namun bisa ditarik benang merah yang serupa.

Di dalam kultur Jawa, seni bertutur pada awalnya berbentuk lisan. Seni bertutur lisan semacam ini masih bisa dilihat jejaknya pada Kesenian Muntiet yang ada di sekitar Banyumas. Kesenian ini bertutur dalam format mendongeng dan dialog, dengan iringan musik yang juga menggunakan suara manusia.

Pada perkembangan berikutnya, cerita-cerita leluhur dituturkan dalam pahatan relief yang ada di candi-candi. Di lingkup masyarakat umum yang hidup di waktu itu, cerita lisan masih menjadi sarana bertutur utama, sedangkan di kalangan bangsawan mengembangkan seni bertutur menuju media visual.

Cerita Panji yang muncul di Kerajaan Kediri antara tahun 1042-1222, kisahnya terpahat dalam relief di Candi Penataran. Kisah-kisah dan ajaran spiritual di era Hindu-Budha juga bisa ditemukan pada relief berbagai candi. Relief Candi Prambanan mengkisah tentang Ramayana, Candi Borobudur berkisah tentang perjalanan Sidharta, Candi Sojiwan berkisah tentang fabel Jataka, dan Candi Sukuh berkisah tentang Sudamala. Bisa dikatakan, relief candi tersebut adalah bentuk cerita bergambar yang dihasilkan oleh para leluhur.

Kesenian Muntiet bertutur dalam format mendongeng dan dialog, dengan iringan musik yang juga menggunakan suara manusia

Candi sebagai tempat suci mempunyai keterbatasan dari sisi kemudahan dan kedekatan akses kepada masyarakat umum. Keterbatasan ini dijembatani dengan munculnya kesenian Wayang Beber, dimana visualisasi cerita seperti yang ada di relief candi, dilukis dalam gulungan kertas. Wayang Beber dibuat dari Pohon Daluang, dengan pewarnaan dari getah tanaman, kulit buah, kulit pohon atau mineral-mineral pewarna lainnya.

Dalam satu gulungan Wayang Beber memuat satu potong adegan, yang biasanya berasal dari Cerita Panji. Memuat adegan cerita dalam gulungan-gulungan kertas memudahkan mobilitas karya tersebut, sehingga cerita bisa disimak oleh lebih banyak orang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline