Gamelan bertalu di pendapa Desa Nglanggeran, Gunungkidul, mengiringi para Waranggana yang menembangkan Langgam Rujak Jeruk. Tiga dara cantik maju ke tengah panggung, menghampiri tiga orang pria yang sudah mengenakan sampur (selendang penari) di pundak mereka. Mereka menari dan bersuka ria di atas panggung, kadang ada gerakan-gerakan usil, kadang sedikit menggodai para penari, tetapi semuanya masih menjaga batas kesopanan saat menari di atas panggung Tayub siang itu.
Tarian Tayub sering dipentaskan saat perayaan panen, upacara Merti Dusun atau ketika ada acara hajatan dari tokoh masyarakat. Kesenian ini masih bertahan di beberapa pedesaan di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Beberapa daerah yang Kesenian Tayub-nya masih bertahan hingga saat ini, diantaranya, Blora, Tuban, Sragen, Purwodadi, Grobogan dan Gunungkidul.
Tayub berarti "Mataya kanthi Guyub" yang dimaknai sebagai menari dengan rukun. Tarian ini muncul dari kehidupan agraris penduduk pedesaan di Jawa sejak era Singhasari. Selama bertahun-tahun, Dari sejak era penelitian Raffles maupun Cliford Geertz, Tayub mendapatkan stigma sebagai kesenian yang menyimpang dari norma-norma sosial di masyarakat. Memang ada satu masa ketika Tayub identik dengan pesta minuman keras, erotisme yang vulgar bahkan sering terjadi perkelahian saat pementasannya. Di sebagian masyarakat, stigma terhadap Tayub masih bertahan sampai hari ini.
Dalam segi pementasan, sekarang ini pementasan Tayub di Gunungkidul sudah mengalami modifikasi ke arah positif, sama seperti komunitas-komunitas Tayub lain di Jawa.
Pementasan diselenggarakan saat pagi hari dan selalu diawali dengan doa oleh sesepuh desa. Kemben (pakaian Ledhek) dimodifikasi dengan penambahan perhiasan dan selendang agar tidak terlalu vulgar.
Tradisi Saweran yang dulu sering nakal diselipkan ke baju penari, kini diterima dan dikumpulkan oleh tetua desa atau oleh Pengarih, yaitu orang yang bertugas mengatur jalannya pementasan. Tayub sekarang ini juga tidak lagi menyajikan minuman keras dalam setiap pementasannya.
Menyaksikan pentas Tayub di beberapa desa di Gunungkidul, adalah pengalaman menjumpai Tayub dengan pemaknaan yang kembali ke kisahawalnya. Para Ledhek atau penari Tayub sejatinya adalah simbol dari Dewi Sri, Simbol "Ibu Bumi", yang menyediakan segala bentuk kesuburan bagi manusia yang tinggal di dalamnya. Maka para Ledhek di Gunungkidul sangat dihormati keberadaannya.
Banyak ibu-ibu yang berebut hanya untuk bersalaman dengan mereka, sebuah kebanggan untuk para balita ketika diajak bersalaman, diusap dengan selendang atau dicium oleh para Ledhek Tayub. Mereka yang ingin menari dengan Ledhek tidak hanya kaum pria, namun ibu-ibu dan anak kecil pun ikut menari bersama.
Bagi warga desa, menari adalah sebentuk harapan yang diwujudkan dalam gerak. Ada sebuah pemaknaan bahwa, ketika gerak hidup manusia bisa selaras dengan gerak-nya "Ibu Bumi" maka muncullah kehidupan yang harmonis yang membuahkan segala kesejahteraan yang "Gemah Ripah Loh Jinawi".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H