Di masa kanak-kanak, kami menyebut daerah itu "Etan Kali" sebuah pedesaan asri di sisi timur Bengawan Solo, sekitar wilayah Plumbon Sukoharjo. Etan Kali menjadi tempat bermain favorit saya, setiap selepas pulang sekolah. Nggak perlu uang saku, kami bisa makan sepuasnya aneka cemilan sehat seperti, timun krai, talok, sawo, ketela atau ubi yang dibakar di samping ladang, dan buah aneh yang bernama K**t*l Je**ut*n. Sepanjang ingatan saya, di waktu itu masih banyak rumah-rumah pedesaan yang memajang kendi berisi air dingin di depan rumahnya, boleh diminum oleh siapa saja yang melintas.
Kendi merupakan gerabah untuk wadah air minum yang menggambarkan simbol lingga-yoni, dimana di dalamnya terhadap air yang memberikan kehidupan. Gerabah mempunyai keunggulan untuk menyimpan air, pori-pori-nya akan menyerap material kapur dan zat lain dan mengendapkannya. Air yang disimpan di dalam kendi juga akan terjaga dalam keadaan dingin dan segar. Kendi di depan rumah memang disediakan gratis sebagai pelepas dahaga bagi orang-orang yang berjalan kaki ke sawah, pencari rumput, penggembala ternak, atau siapapun yang kebetulan melintas dan sedang haus. Ini sebuah gerakan sosial yang viral tanpa tagar di masa lalu, sebuah gerakan untuk saling membantu kepada siapapun, tanpa saling kenal dan sering tanpa saling bertatap muka.
Kini setelah 20-30 tahun berlalu, saat lalu lintas di pedesaan lebih didominasi sepeda motor dari pada berjalan kaki, dan warung-warung sudah banyak ditemukan di sudut-sudut pedesan, sudah sangat jarang ditemui warga desa yang masih memajang kendi di depan rumahnya. Tapi tradisi ini masih muncul kembali saat berlangsungnya Tradisi Nyadran, di Cepogo, Lereng Gunung Merapi-Merbabu. Warga yang datang dari berbagai pelosok desa untuk ikut Nyadran masih disediakan kendi berisi air dingin, pelepas haus setelah mengusung gunungan dan Tenong atau mereka yang kekenyangan makan jadah dan wajik upacara Nyadran.
Zaman bergerak, kondisi pedesaan berubah, beberapa tradisi harus bergeser. namun pedesaan masih selalu menjadi tempat yang nyaman dan ramah dalam pandangan saya. Suatu hari, saat mendokumentasikan upacara Merti Dusun di pedesaan Gunungkidul, niat saya numpang nge-charge HP di salah satu rumah warga, eh malah disuguhi cemilan komplit plus makan siangnya. Pernah juga berhenti sejenak di sisi Menoreh setelah melintasi Boyolali, Magelang menuju Jogja. Niatnya membeli rokok dan air minum. tapi yang punya warung malah menyuruh saya "pinarak" menawari istirahat sejenak untuk makan siang. Mungkin karena tampang saya memelas, namun saya percaya kebaikan dan dorongan untuk berbagi masih sangat menjadi budaya hidup di sudut-sudut pedesaan.
Kendi-kendi mungkin sudah tidak lagi terpajang di depan rumah setiap hari, tetapi semangat untuk berbagi masih menjadi budaya yang hidup dikeseharian. Kendi sebagai simbol budaya boleh kalah oleh lajunya zaman, namun semoga kebaikan-kebaikan yang ada di hati manusia-nya tak akan lekang oleh waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H