Seorang teman menyebut kata Pohsarang dan mengingatkan saya kembali akan pengalaman ini.
Sekitar tahun 2000-an, seorang sahabat mengajak saya untuk berziarah ke Goa Maria Lourdes Pohsarang, Kediri, Jawa Timur. Karena mendadak tanpa persiapan, kami berangkat dari rumah menggunakan angkota. Naik bis sampai setasiun bis Kediri kemudian disambung dengan naik ojek. Berhubung saat itu hari sudah larut malam, kira-kira pukul 10, saya jadi mikir panjang jika harus berboncengan hanya berdua dengan tukang ojek. Jadilah malam itu di tengah rintik hujan kami sepakat naik ojek barengan, bertiga sama tukang ojeknya. Aman.
Tak sampai 10 menit perjalanan menembus gelapnya malam, kami tiba juga di depan pintu masuk goa Pohsarang. Hujan semakin deras dan lingkungan menuju goa sedemikian gelap. Berhubung tepat menjelang malam pergantian tahun ada misa khusus yang dipimpin oleh seorang Romo, lupa nama Romonya, membuat di beberapa titik terjadi kerumunan. Karena perut lapar, kami segera mencari tempat untuk makan malam di sebuah pendopo yang sudah penuh oleh para peziarah.
Hingga ibadah misa malam dilaksanakan, gerimis tak kunjung berhenti. Berhubung tak membawa jas hujan atau payung, satu-satunya yang bisa menahan kepala dari tetesan air adalah tas kresek dan memilih duduk di bawah sebuah pohon tepat di area depan goa. Suasana yang hiruk pikuk oleh peziarah mendadak berubah sangat teduh dan khidmat saat misa dimulai.
Tepat jam 12 malam, setelah sesi homili, Romo meniup terompet untuk pertama kalinya di lingkungan tempat ziarah goa Maria Lourdes Pohsarang. Merinding dengernya. Kami yang tak membawa terompet hanya bertepuk tangan saja bisanya. Meriah.
Setelah selesai misa, kami bermaksud kembali ke pendopo untuk menunggu pagi. Sahabat saya berencana untuk mengikuti prosesi jalan salib saat subuh. Berhubung baru pertama kali ke situ, kami sama sekali buta arah. Udara sudah sedemikian menggigit kulit. Dimana-mana gelap kecuali area pendopo. Malangnya, jalan kembali menuju pendopo sama sekali kami lupa. Dalam gelapnya malam kami berjalan dan berhenti di sebuah tempat. Ada beberapa orang berkumpul di situ. Di luar masih saja hujan. Saat kami ikut berteduh, tiba-tiba kilat hebat datang dari langit. Suasana mendadak menjadi sangat terang dan diikuti suara gelegar. Di pendopo, kami langsung tiduran saja di situ menunggu subuh. Tepat sebelum fajar, kami bersiap untuk mengikuti prosesi jalan salib. Pada akhirnya kami bisa menikmati terbitnya matahari sambil mengikuti prosesi upacara.
Pagi, setelah sarapan, kami bergegas untuk kembali pulang ke Surabaya. Oleh penjaga warung kami diberi tahu bisa kembali ke stasiun bis semalam dengan menumpang angkot seperti ‘bemo’ kalo di Surabaya. Benar saja, ‘bemo’ yang dimaksud lewat dan saya lihat bentuknya jauh lebih besar seperti angkutan di kota. Di dalam bemo terlihat sudah dipenuhi oleh beberapa orang. Kami duduk melewati tiga orang dari pintu belakang. Beberapa kali ‘bemo’ berhenti menaik-turunkan penumpang. Sambil menikmati pemandangan, kami berbincang dengan penumpang lain yang menyadari bahwa kami adalah pendatang. Tersenyum saya lihat beberapa dari mereka ada yang membawa karung berisi singkong, sekeranjang ayam, alat untuk bertani, pacul, dan lain-lainnya.
Sampai di tikungan, saat bemo berhenti, saya melihat seorang bapak akan naik. Di sebelah bapak itu berdiri 2 ekor kambing. ‘Liat itu, pinter bener ya kambingnya. Ada bemo lewat dia berhenti nggak sembarangan nyeberang jalan,’ kata saya. Belum lagi kami selesai berbicara, sesaat setelah bapak itu naik ladalah malah diikuti dua kambingnya. Astaga! Wajah saya langsung merah menahan berbagai rasa. Antara geli campur takut diseruduk kambing hampir nggak ada bedanya. Itu pantat kambing pas persis di sebelah saya. Karena takut, meski terbahak tertawa, para penumpang memahami kepanikan kami. Di tengah jalan mereka meminta angkot berhenti dan mempersilahkan kami untuk pindah ke kursi depan. Ah, ramahnya penduduk sekitar. Baru tahulah kami bahwa hari itu ada kegiatan pasar pagi. Banyak warga yang membawa apa yang dimilikinya untuk dijual, termasuk ayam dan kambing tadi. Sayangnya waktu itu kami nggak kepikiran untuk membawa kamera. Coba dibawa, bisa dapet kesempatan untuk poto selfie di sebelah (pantat) kambing dalam angkota ahahaa.
Selamat pagi semua.
Salam Kompasiana.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H