Saat melihat timeline facebook sahabat SMP dulu yang memasang foto sang ayah sedang bersepeda bersama cucunya, jadi teringat kenangan lama bersama sahabat saya yang lain lagi, Suryati.
Sebenarnya saat duduk di bangku SMP saya sudah bisa mengendarai sepeda. Waktu itu sepeda yang saya punya jenis sepeda mini warna hitam. Naik sepeda mini di jaman segitu sudah lumayan bagus dan gak bikin malu. Satu ketika saat pulang sekolah, saya terjatuh gara-gara ditabrak motor dari arah berlawanan. Yang nabrak pemuda ugal-ugalan setengah mabuk yang bahkan nggak sadar sudah menabrak seseorang meski jatuh terguling. Setelah bangun pun ia dengan cuek pergi mengendarai motornya tanpa mengucap sepatah kata. Para saksi mata yang marah berteriak mengata-ngatainya. Beberapa menolong meminggirkan sepeda saya, memberi minum, dan membantu menuntun sepeda ke tukang tambal ban. Penutup rantainya penyok terkena tumbukan. Sejak saat itu sepeda saya tak lagi berfungsi dengan sempurna. Setiap dikayuh bunyinya, sreeekkk srek sreeeekkkk. Terus begitu memekakkan telinga. Setelah dibawa ke tukang sepeda yang berbeda pun hasilnya tetap sama. Mimpi buruk sang sepeda mini, benda beroda itu harus diakhiri nasibnya dengan cara diikat di belakang rumah. Sejak itu hampir setiap hari saya berjalan kaki ke sekolah. Hingga bertemu Suryati.
Saat mengetahui saya ke sekolah berjalan kaki, Suryati menawari untuk berangkat bersamanya naik sepeda. Sepeda jengki sang legenda. Suryati bilang sepeda itu adalah sepeda ayahnya di masa lalu. Warnanya hijau tua. Sadelnya terbuat dari kulit tebal berwarna hitam. Ada lampu di bagian depannya. Saat itu, hanya Suryati yang ke sekolah memakai sepeda jenis onthel jengki. Di saat teman-teman lain memilih sepeda gunung atau sepeda mini, Suryati tak pernah mau berganti sepeda lagi. Padahal setiap melihat sepeda Suryati di benak saya selalu terbayang orang-orang zaman Belanda dulu yang berkeliling ke sana kemari naik sepeda. Tua.
Bersama Suryati, di satu sisi masalah transportasi saya terpecahkan sudah. Namun di sisi lain justru ada sesuatu yang bikin masalah. Sepeda jengki Suryati terlalu tinggi untuk tubuh mungil saya. Dan dia juga sebenarnya. Setiap akan naik ke boncengan belakang, saya nyaris harus setengah melompat dulu. Kalo bawaan tas berat dan tak bisa melompat, saya harus cari alas batu dulu supaya bisa naik dan duduk manis di belakang situ. Meski berangkat bersama hampir setiap hari, yang tak diketahui Suryati adalah sesungguhnya saya sangat gamang sama ketinggian. Duduk terayun di boncengan belakang sepeda yang tinggi itu sangat membuat tidak nyaman. Apalagi jika melihat Suryati harus berjinjit menahan beban saya di belakang. Meski Suryati terlihat gesit dan mahir, namun jika sedang berjalan di jalur yang macet membuat dia kewalahan juga. Bolak balik harus naik turun sadel untuk menjaga keseimbangan sepeda. Kalo sudah begitu sepeda jadi utal util goyang kanan kiri tak tentu arah. Bikin pusing dan membuat tulang-tulang jadi ngilu. Takut jatuh.
Satu hari saat pulang sekolah, seperti biasa kami berboncengan sambil berbicara banyak hal di atas sepeda. Hari itu jalanan lengang. Sebentar-sebentar setir sepeda Suryati bergoncang karena terus tertawa. Entah kenapa di sepanjang jalanan pulang kami terus terbahak. Ada saja cerita yang membuat kami tergelak. Hingga sepeda berbelok di pertigaan jalan, tiba-tiba, DHUARR!! Terkejut, saya menoleh pada pengendara motor di sebelah kanan, ‘Bapak, bikin kaget aja!’ seru saya. Saking kagetnya setir Suryati juga bergoyang-goyang tak terkendali. Karena tak bisa menguasai kemudi, Suryati seketika banting setir ke kiri, dan BRAAKK!! Sepeda jengki yang kami naiki sukses menabrak dinding di sepanjang sisi kiri jalan kami. Kejadiannya persis kayak di film-film komedi. Sepeda langsung menabrak dinding tepat membentuk formasi huruf ‘T.’ Suryati jatuh kemana, saya juga ambruk kemana. Persis Dono sama Indro terjungkal saat naik sepeda. Terjatuh bukannya menangis tapi meringis. Terkejut, kemudian terbahak lagi. Ladalah ternyata yang meletus tadi roda belakang sepeda Suryati. Pantesan berat.
Kemarin saat melihat iring-iringan onthel di jalan, jadi keingetan Suryati lagi. Entah dimana dia sekarang. Satu yang ingin saya ucapkan jika bertemu, terimakasih sudah boncengin saya sampai lulus sekolah. Kejadian nabrak dinding itu sangat berkesan dan meninggalkan pelajaran berharga.
Salam nostalgia.
Salam Kompasiana.
.
*untuk Suryati dimanapun berada...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H