Saat berkunjung ke dokter spesialis mata dua tahun lalu sempat nyungir saya saat mendengar pak dokter bergumam di depan saya, ‘Ini belum 40 kenapa sudah begini matanya?’ Lah, dokter aja bingung apalagi saya. Dokter bilang mata saya terkena presbiopi. Presbiopi sendiri maknanya adalah gangguan mata akibat kesulitan melihat objek di jarak dekat. Gelagat orang yang terkena presbiopi ini seperti ibu saya yang kalo nggak pake kacamata suka mencring-mencring matanya saat membaca. Kalopun memaksa membaca tanpa kacamata memang masih bisa, tapi hanya bertahan hitungan menit saja. Itupun posisi koran harus dijauhkan dulu melebihi jarak wajar orang membaca. Seperti itulah saya. Uda kayak nenek-nenek pokoknya. Menurut dokter harusnya gangguan seperti ini biasanya menyerang secara alami mereka yang sudah berusia di atas empat puluhan. Trus, saya? Pengecualian, katanya. Ya sudahlah.
Saat itu kacamata yang saya pilih yang ringan saja jenisnya. Lensanya jenis progressive menggunakan bahan yang saya sebut saja mika. Pertimbangannya karena jika memilih lensa kaca akan lebih berat dan nggak nyaman dipakainya. Framenya pun bukan yang model penuh tapi yang model bingkai setengah. Menggunakan kacamata model begini memang bikin wajah yang mungil kayak saya jadi gak keliatan sumpek. Tidak ada masalah. Masalah mulai muncul kira-kira setahun setelah memakainya.
Tanpa saya sadari, entah mengapa kacamata yang harusnya membantu saya saat berinteraksi membaca agar lebih jelas huruf-hurufnya malah jadi sebaliknya. Lama-kelamaan justru bikin pusing setiap dipakai. Berat rasanya di bagian mata. Curiga, saya kembali memeriksakan diri ke dokter. Dokter bilang plusnya sudah nambah setengah strip lagi. Harusnya bukan masalah. Kacamata selayaknya diganti jika terjadi penambahan plus di atas satu setrip. Untuk saat ini kacamata saya harusnya masih bisa dipakai sebagai terapi. Waktu itu dokter hanya memberi obat tetes mata. Sebulan meneteskan obat tetap saja saya merasa pusing jika memakai kacamata. Belakangan baru saya ketahui bahwa pusing-pusing itu akibat kesalahan saya juga.
Akibat salah membersihkan kacamata membuat ketajaman lensa menurun kualitasnya. Saat ketajaman lensa menurun, kinerja mata akan terasa lebih berat. Kesalahan saya memang terjadi akibat keliru saat membersihkan lensa. Kacamata yang tadinya mulus, belakangan jadi baret-baret di hampir seluruh permukaannya. Pantas saja jika mata saya jadi mudah lelah dan akibatnya jika kacamata terus dipakai malah terasa pusing jadinya.
Berdasar pengalaman itu, berikut beberapa hal yang perlu diketahui saat membersihkan lensa kacamata berbahan dasar mika.
[caption id="attachment_345660" align="aligncenter" width="300" caption="kacamata full frame lebih sulit dibersihkan (milik pribadi)"][/caption]
Gunakan kain khusus pembersih lensa, bukan baju atau tissue
Saat membeli kacamata setiap toko optik pasti memberikan lap untuk membersihkan lensa. Gunakan yang itu, jangan pakai selembar tissue. Ingat, salah satu bahan pembuat tissue adalah bubur kertas yang notabene diambil dari serat kayu. Bayangkan jika lensa kacamata mika digosok oleh bahan seperti itu, kayu lawan mika? Gimana coba kira-kira hasilnya? Lama kelamaan bisa baret juga. Makanya pake yang aman. Kain lembut khusus membersihkan lensa kacamata, bukan ujung baju ato yang lainnya.
Usap lensa ke satu arah saja
Jelas. Jangan memakai gerakan berputar-putar jarinya. Searah. Kalo dari awal sudah memilih dari arah kiri ke kanan ya lakukan seperti itu terus saat membersihkan. Konsisten. Membersihkan lensa kacamata dengan gerakan memutar salah-salah malah bikin baret bertambah. Sebab kita tidak pernah tau sebesar apa dan sejenis apa debu kotoran yang menempel di kacamata. Sekecil apapun partikel debu, jika salah urus bisa bikin baret juga mikanya. Jadi hati-hati.
Gunakan cairan pembersih
Di toko optik langganan saya dijual cairan pembersih lensa kacamata yang sangat terjangkau harganya. Orang bilang pakai cairan yang mahal harganya itu jaminan mutu ya. Kalo saya lebih melihat fungsinya saja. Kalo sama-sama bisa digunakan untuk membersihkan kacamata, kenapa tidak? Ini masih mending ketimbang jaman ibu saya dulu yang kalo membersihkan kacamata tinggal diuapin pakai hawa dari dalam mulutnya, ‘hah haaaahhhh’ gitu sampai berembun kacanya, lantas dilap menggunakan baju yang dipakai saat itu juga. Simple sih. Nggak bau katanya. Membersihkan lensa dengan cara begitu juga tidak salah. Hanya saja tak semua debu bisa rontok hanya dengan menghembuskan uap dari dalam mulut kita. Dibutuhkan cairan pembersih lensa yang lebih praktis dan aman tanpa perlu repot menguap 'hah haaaahhhh.’ Cape kan lama-lama.
Menggunakan frame setengah bingkai lebih mudah dibersihkan
Setelah bosan memakai kacamata model bingkai setengah, saat ini saya menggunakan jenis kacamata full frame. Tapi ternyata, menurut pengalaman saya, model kacamata seperti ini tidak mudah dibersihkan karena ujung-ujung lensa terhalang bingkai. Menggunakan bingkai setengah frame bagian atas lebih memudahkan saat membersihkan kacamata. Saat disapu sekali ke satu arah otomatis kotoran tidak akan kembali ke permukaan lensa. Sebaliknya jika kacamata seperti yang saya pakai sekarang, jika dibersihkan, muter-muter aja di situ kotorannya. Tidak mudah diangkat. Jika sudah begini yang bisa dilakukan adalah membawa kacamata ke toko optik dan meminta jasa layanan pembersihan kacamata.
Jika baret sudah terlalu banyak, ganti
Jangan sampai terjadi seperti saya tadi. Baretnya lensa membuat mata jadi terasa lebih berat dan mudah lelah. Toko optik secanggih apapun tidak bisa menangani permukaan lensa yang sudah banyak baretannya. Jika sudah begini, ganti! Lebih baik merogoh kocek sedikit ketimbang terserang puyeng terus setiap hari.
Semoga selalu sehat.
Salam Kompasiana.
.
ini pengalaman pribadi ya ^^
bisa jadi pengalaman setiap orang juga bisa berbeda ^^
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H