Lihat ke Halaman Asli

Konsumsi Berorientasi Maslahah

Diperbarui: 27 Oktober 2024   23:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pola konsumsi di tengah masyarakat saat ini mengalami perubahan yang signifikan seiring dengan berkembangnya zaman dan kemajuan teknologi. Konsumsi, yang semula dipandang sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti pangan, sandang, dan papan, kini telah bergeser menjadi bentuk ekspresi gaya hidup dan status sosial. Perubahan ini tidak lepas dari pengaruh globalisasi, kapitalisme, dan arus budaya konsumerisme yang terus meresap ke dalam kehidupan masyarakat modern. Masyarakat tidak lagi hanya berfokus pada kebutuhan esensial, tetapi mulai terjebak dalam pola pikir konsumsi yang salah, di mana dorongan untuk memiliki barang-barang mewah dan bergaya hidup tinggi menjadi prioritas utama.

Teori konsumsi klasik, yang merujuk pada pemenuhan kebutuhan utilitarian, kian terpinggirkan oleh konsep konsumsi kontemporer yang lebih mementingkan pemuasan keinginan (wants) daripada kebutuhan (needs). Pola konsumsi semacam ini diperkuat oleh industri periklanan yang terus-menerus mempromosikan produk dan gaya hidup mewah sebagai simbol kesuksesan dan kebahagiaan. Masyarakat dibombardir dengan pesan-pesan yang mendorong mereka untuk membeli lebih banyak barang, bahkan jika barang tersebut tidak diperlukan, sehingga menimbulkan budaya konsumtif yang berlebihan.

Pola pikir konsumsi yang salah ini juga turut menyuburkan dua sifat negatif, yakni materialisme dan hedonisme. Materialisme adalah pandangan yang menempatkan kepemilikan materi sebagai tolok ukur kebahagiaan dan keberhasilan hidup. Dalam masyarakat yang materialistis, nilai-nilai spiritual, moral, dan sosial sering kali diabaikan, karena fokus utama adalah pada pengumpulan kekayaan dan barang-barang mewah. Sementara itu, hedonisme mendorong masyarakat untuk mencari kenikmatan dan kesenangan instan tanpa memperhatikan konsekuensi jangka panjangnya, baik bagi diri sendiri maupun bagi lingkungan dan masyarakat luas.

Dampak dari pola konsumsi yang salah ini tidak hanya terbatas pada individu, tetapi juga merambah ke seluruh aspek kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Secara sosial, pola pikir materialistis dan hedonis menciptakan kesenjangan sosial yang semakin melebar, karena orang-orang yang tidak mampu mengejar gaya hidup konsumtif merasa tertinggal dan terpinggirkan. Ini dapat menimbulkan rasa tidak puas, kecemburuan sosial, bahkan depresi di kalangan masyarakat. Secara ekonomi, konsumsi yang berlebihan dan tidak terkontrol ini menyebabkan peningkatan utang rumah tangga, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, serta kerusakan lingkungan.

Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian mendalam mengenai teori dan pola pikir konsumsi yang keliru ini, untuk memahami akar permasalahannya dan bagaimana dampak negatif materialisme dan hedonisme dapat diminimalisir. Dengan demikian, masyarakat diharapkan dapat kembali pada pola konsumsi yang lebih sehat, seimbang, dan berkelanjutan, yang tidak hanya berorientasi pada kepuasan diri, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan sosial dan kelestarian lingkungan.

Menjadi konsumen yang berorientasi pada maslahah berarti memilih pola konsumsi yang tidak hanya mengutamakan kepentingan pribadi, tetapi juga mempertimbangkan manfaat bagi masyarakat luas dan lingkungan. Konsumen dengan prinsip ini akan memprioritaskan kebutuhan dasar dibandingkan keinginan yang berlebihan, memilih produk halal, etis, dan ramah lingkungan, serta menghindari perilaku konsumtif yang berlebihan. Selain itu, mereka juga mendukung produk lokal dan Usaha Kecil Menengah (UKM), yang berdampak langsung pada penguatan ekonomi nasional.

Dalam konteks perekonomian Indonesia, pola konsumsi yang berorientasi pada maslahah memiliki dampak signifikan. Dukungan terhadap produk lokal dan UKM dapat mempercepat pertumbuhan sektor ini, menciptakan lebih banyak lapangan kerja, dan memperkuat kemandirian ekonomi nasional. Selain itu, meningkatnya permintaan terhadap produk halal dan ramah lingkungan akan mendorong pengembangan industri halal di Indonesia, yang memiliki potensi besar menjadi salah satu pusat industri halal dunia.

Konsumsi yang bijak dan tidak berlebihan juga akan mengurangi ketergantungan masyarakat pada utang konsumtif, sehingga meningkatkan stabilitas keuangan rumah tangga. Pada skala makro, hal ini akan memperkuat stabilitas perekonomian nasional, meningkatkan tabungan domestik, serta mendorong investasi yang lebih produktif. Dengan menerapkan prinsip konsumsi yang berorientasi pada maslahah, Indonesia bisa mencapai perekonomian yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan berdaya saing global.

Sebagai kesimpulan, menjadi konsumen yang berorientasi pada maslahah adalah langkah penting dalam membangun pola konsumsi yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Dengan memprioritaskan kebutuhan, mendukung produk halal dan ramah lingkungan, serta memberdayakan produk lokal dan UKM, konsumen tidak hanya memenuhi kebutuhan pribadi, tetapi juga berkontribusi positif terhadap perekonomian. Dampaknya nyata dan signifikan, seperti peningkatan kemandirian ekonomi, pertumbuhan sektor industri halal, penciptaan lapangan kerja, serta stabilitas keuangan nasional.

Dengan demikian, pola konsumsi yang bijak ini dapat membantu mewujudkan perekonomian Indonesia yang lebih inklusif, stabil, dan berdaya saing, sekaligus mendukung kesejahteraan sosial dan keberlanjutan lingkungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline