PERAN PK DALAM FUNGSI PEMBIMBINGAN DALAM MENCEGAH RESIDIVISME KLIEN PEMASYARAKATAN DI BAPAS KELAS I TANGERANG
Di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, tujuan sistem pemasyarakatan adalah memberikan jaminan pelindungan terhadap hak Tahanan dan Anak, meningkatkan kualitas kepribadian dan kemandirian Warga Binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik, taat hukum, bertanggung jawab, dan dapat aktif berperan dalam pembangunan; dan memberikan pelindungan kepada masyarakat dari pengulangan tindak pidana.
Menurut Gunarto (2017) dalam (Nugroho, 2017) Sistem pemasyarakatan dalam pelaksanaanya bertujuan untuk menciptakan kemandirian dalam diri warga binaan pemasyarakatan atau mewujudkan sumber daya manusia yang mandiri.
Program pembimbingan klien pemasyarakatan yang ada, dibagi menjadi 2 yaitu bimbingan kepribadian dan bimbingan kemandirian. Bimbingan kepribadian diberikan kepada klien dalam rangka membentuk pribadi yang lebih baik dan bimbingan kemandirian diberikan kepada klien dalam rangka memberikan keterampilan kerja sebagai bekal klien untuk menjalani kehidupan dimasyarakat.
Dalam melaksanakan program pembimbingan juga terbagi menjadi 2 cara yaitu pembimbingan individu dan pembimbingan kelompok. Bimbingan individu dilakukan secara perorangan antara klien dengan petugas pembimbing kemasyarakatan. Bimbingan kelompok dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa klien secara langsung dalam tempat dan waktu yang bersamaan.
Namun, Dari pembimbingan yang telah dilakukan oleh PK, masih ditemukan pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh klien pemasyarakatan.
Residivisme dan Faktor penyebab
Prianter Jaya Hairi (2018) mengutip Fasel S dan Wolf A bahwa Residivisme dalam pemahaman umum dipahami sebagai suatu istilah luas yang mengacu pada perilaku kriminal kambuhan (relapse of criminal behavior), termasuk karena suatu penangkapan kembali (rearrest), penjatuhan pidana kembali (reconviction), dan pemenjaraan kembali (reimprisonment). Residivie atau pengulangan tindak pidana berasal dari bahasa Perancis yatitu Re dan Cado. Re berarti lagi dan Cado berarti jatuh.
Sehingga secara umum dapat diartikan sebagai melakukan kembali perbuatan-perbuatan kriminal yang sebelumnya biasa diakukannya setelah dijatuhi pidana dan menjalani penghukumannya (Muhammad Hafiluddin Khaeril, 2014 p.36). Pengulangan atau residivie terdapat dalam hal seseorang telah melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri, diantara perbuatan mana satu atau lebih telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan (Nabila Salsabila,2017. p.32).
Ahmad Rizky Harahap, (2021) mengutip pendapat Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Prof Hibnu Nugroho, bahwa perbuatan napi yang kembali berulah menimbulkan keresahan di masyarakat, kemudian lebih jelasnya dia juga mengatakan bahwa kondisi ekonomi yang tidak jelas, pengangguran yang banyak, hidup susah menjadikan potensi kriminologinya besar sekali, wajar apabila masyarakat takut.