Lihat ke Halaman Asli

Lnura

Eccedentesiast.

Kantin dan Batagor

Diperbarui: 6 Oktober 2020   06:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ruang kecil yang terletak di bagian paling ujung gedung sekolah. Dengan sekat kawat bersilang memudahkan mbak-mbak pelayannya mendengar suara khas anak-anak sekolah yang hendak jajan.

Dengan teras yang lumayan cukup luas, bisa dijadikan destinasi akhir ketika perut mulai mengeluh meminta diisi di kala jam istirahat. Yang aku ingat menu-menu yang tersedia adalah roti, nasi goreng, bihun goreng lengkap dengan sambal kacangnya, batagor, mpek-mpek ala kadarnya, permen, kerupuk, dan es. Mungkin masih banyak varian yang lain, tetapi karena kami anak asrama tak pernah punya uang jajan yang besar, kami hanya hafal makanan yang biasa kami beli saja.

Batagor. Makanan ini adalah jenis yang sering aku beli. Alasannya klise, cukup mengenyangkan karena bahan dasarnya adalah tepung. Batagor berbumbu kacang yang dibungkus pada plastik yang super mungil, alhasil susah sekali membuka plastik bumbunya.

Yossi punya kenangan yang hampir sama denganku. Saking semangatnya ingin makan batagor, plastik bumbu itu tak mau segera terbuka, digigit berkali-kali, tapi hasilnya adalah bumbu itu mendarat indah di baju dan ada pula di tembok. Ah, batagor pun menjadi mati rasa di lidah. Hambar.

"Ini, buat kamu," tangan itu bergerak maju memberikan bungkusan kecil. Batagor. Mungkin dia tahu dengan pasti, bahwa batagor adalah makanan kesukaanku. Selain batagor, ada beberapa butir permen, dan es mambo ras teh.

Aku diam saja. Tak segera ku ambil pemberiannya. Lelaki itu tetap berdiri di depanku dengan tetap menggenggam semua makanan yang hendak diberikannya padaku.

"Ambil..." katanya.

Tangannya pun meraih tanganku untuk memindahkan semua isinya. Aku hanya diam saja menerima semua makanan itu.

Aku dan dia bersahabat layaknya sahabat. Benar-benar sahabat. Tanpa ada rasa yang lain. Saling mendukung, saling berbagi cerita, saling berkeluh kesah. 

Tapi kami tak menampakkannya di luar. Kami berbicara melalui buku. Setiap jam istirahat tiba, salah satu di antara kami akan berdiri di depan wastafel yang letaknya dekat dengan kelasku, di depan aula. Untuk mengembalikan buku yang terselip surat di dalamnya. Karena kami berbeda kelas, tak jarang kami pun berbagi catatan pelajaran.

"Sarapan dulu" katanya pagi itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline