Dalam menjalankan bisnisnya, volume kerja perusahaan kadang meningkat dari statistik biasanya. Load kerja sebuah hotel meningkat pada saat event perkawinan, atau ledakan pengunjung department store pada momen menjelang lebaran.
Dalam kondisi ini, tenaga kerja menjadi kritis. Karyawan tetap yang menangani pekerjaan rutin, misalnya waiter atau pelayan toko, kewalahan menghadapi kemauan pengunjung yang membludak. Dalam situasi ini, karyawan casual sering menjadi solusi bagi perusahaan yang memerlukan pasukan cadangan.
Dalam UU Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, juga Kepmenakertrans No. KEP.100/MEN/VI/2004, karyawan casual ini disebut juga karyawan harian lepas. Sesuai pasal 10 ayat (1) Kepmenakertrans, untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan, dapat dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau lepas. Perjanjian ini juga menentukan, bahwa upah karyawan harian lepas tersebut didasarkan pada kehadiran karyawan.
Baik UU Ketenagakerjaan maupun Kepmenakertrans tidak menentukan secara spesifik batas maksimal jam kerja karyawan, sehingga batasannya mengikuti jam kerja secara umum, yang menurut Pasal 77 ayat (2) UU Ketenagakerjaan maksimal 40 jam dalam seminggu. Kalau hari kerjanya 5 hari dalam seminggu, maka karyawan harian lepas bekerja maksimal 8 jam sehari, atau maksimal 7 jam kerja sehari kalau hari kerja karyawan 6 hari seminggu.
Meski tidak mengatur jam kerja, tapi Kepmenakertrans mengatur hari kerja karyawan harian lepas. Ketentuannya, hari kerja karyawan adalah kurang dari 21 hari dalam sebulan. Jika karyawan harian lepas dipekerjakan selama 21 hari atau lebih selama 3 bulan berturut-turut, maka status karyawan lepas tersebut akan menjadi karyawan tetap berdasarkan PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H