Politik pencitraan (imaging politics) harus diakui masih jadi senjata ampuh untuk mencapai hasrat politik. Bukan hanya saat ini tapi hampir disetiap pergantian rezim. Saya ingin menghubungkan dampak gejala imaging politics ini terhadap ketidaksinambungan arah pembangunan nasional.
Lantas apa hubungannya?
Imaging politics seperti yang saya katakan di awal faktanya dipakai untuk mencapai tujuan akhir yakni memuaskan hasrat politik atau guna melanggengkan kekuasaan tertentu. Tanpa membangun politik pencitraan, maka tak mudah untuk mencapainya. Oleh karenanya, dalam arena politik, imaging politics menjadi hal lumrah.
Bahkan intrik dan taktik licik menjadi hal yang seolah legal. Tak heran dalam dunia politik banyak sekali yang bermetamorfosis menjadi kutu loncak, yang justru jadi hama hanya untuk memuaskan hasrat politiknya.
***
Dalam kontek pembangunan nasional, imaging politics bisa jadi berpengaruh dalam membelokan arah pembangunan sesungguhnya. Kenapa demikian?
Penyebabnya karena imaging politics seringkali mengabaikan fakta sesungguhnya, menutup realita masalah, dengan hanya memunculkan narasi searah tentang keberhasilan yang sebenarnya minor dan cenderung melakukan generalisasi terhadap capaian positif.
Imaging politics juga dapat berpotensi memicu apa yang disebut birokratik otoritarian, anti kritik, dan subjektifitas berlebih. Jika demikian, maka dapat dipastikan arah kebijakan akan kabur, karena berbasis pada data dan informasi yang mengabaikan realitas masalah. Dan ironisnya ini terus berulang.
Reformasi birokrasi juga nampaknya belum menyentuh pada akar masalah yakni transparansi kinerja, yang ada semua instansi berlomba lomba menyajikan narasi positif.
Sangat disayangkan padahal masalah adalah objek yang tak mungkin dilepaskan dari realita kehidupan bernegara, oleh karena itu transparansi kinerja adalah keniscayaan menuju pembangunan yang lebih baik dan berkesinambungan.
***