Lihat ke Halaman Asli

Kang Chons

Seorang perencana dan penulis

Sego Kucing, Kudapan Legenda yang Ngangeni

Diperbarui: 21 Juni 2018   20:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : depoktren.com

Bagi para eks. mahasiswa yang sempat kuliah di Jogja atau di Semarang seperti saya, tentu sudah tak asing lagi dengan aneka menu makan murah meriah yang dibungkus daun pisang dilapisi koran bekas ini. Ya, temen temen di Semarang menyebutnya "sego kucing" yang melegenda itu.

Bagi saya, seorang mahasiswa yang hidup pas pasan dan terus terang jadi mahasiswa karena modal dengkul, karena sebenarnya orang tua tak punya cukup biaya, maka menu "sego kucing" menjadi pilihan utama. Jangan tanya nilai gizi atau kandungan nutrisinya, bagi saya itu tak penting. Terpenting bagaimana saya bisa nyambung hidup dengan asupan "sego kucing" ini maksimal dua kali sehari.

Biasanya menu "sego kucing" berisi sambal, teri dan orek tempe dan dibungkus daun pisang dilapisi kertas koran bekas. Namun keliatannya saat ini variannya mulai banyak. Jangan tanya seberapa banyak nasinya, karena bagi saya itu tak penting. 

Terpenting perut saya sedikit termanjakan dengan kehadiran menu ini dan cacing diperut gak teriak teriak. Namanya juga "sego kucing", ya, kalau di takar hanya sekitar maksimal untuk empat kali suapan. Satu bungkus jaman saya dibandrol 500 perak (tahun 1999). Saya cukup habiskan 2 bungkus plus bakwan satu dan es teh manis. Artinya cukup dengan uang 2 ribu saja. Ya, karena itu kemampuan keuangan saya.

Bagi mahasiswa modal dengkul seperti saya, "sego kucing" adalah anugerah luar biasa. Kehadiran "sego kucing" di tengah tengah mahasiswa khususnya seperti saya telah memberikan efek positif dalam meringankan beban biaya hidup. Maka tak heran, gerobak angkringan yang menjajakan "sego kucing" semakin menjamur.

Usaha " sego kucing" semakin menjanjikan apalagi ditengah himpitan ekonomi yang semakin sulit, biaya hidup dan pendidikan yang makin meroket, maka tak heran "sego kucing" jadi pilihan ribuan mahasiswa golongan ekonomi lemah seperti saya.

Malam tadi di Semarang, kerinduan saya pada "sego kucing" kembali menguat. Akhirnya tengah malam saya keluar penginapan untuk menumpahkan kerinduan saya dengan menyantap menu "sego kucing" dengan menu orak arik pedo, ditambah kepala ayam, bakwan goreng (biasanya saya minta untuk dibakar lagi sampe sedikit gosong), sate telur puyuh, tahu bacem dan kerupuk kulit ikan. 

Sungguh nikmat! pikiran saya flashback mengenang masa lalu 18 tahun silam saat bercengkrama dengan temen temen kost diangkringan mas Karebet di seputaran jalan Sriwijaya.

Sayang malam tadi angkringan mas Karebet sudah tak ada, entah kena gusuran atau kenapa? Semoga mas Karebet baik baik saja.

Belakangan, usaha angkringan "sego kucing" justru jadi trend, bukan hanya menyasar kalangan bawah tapi juga kalangan menengah bahkan atas. Seiring perkembangan teknologi informasi saat ini, dengan mudah kita temukan angkringan yang menghadirkan varian menu yang beragam selain "sego kucing", serta beragam fasilitas seperti free hot spot dan live music. Jelasnya, "sego kucing" hadir mengikuti perkembangan zaman.

Jika anda berkunjung ke Semarang, sempatkanlah untuk menikmati suasana angkringan dengan fasilitas live music keroncong yang khas di area kota lama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline