Kita pasti mengenal atau paling tidak pernah dengar sebuah kawasan nun jauh di ujung barat Indonesia. Ya, Sabang daerah yang terletak di Pulau Weh ini menjadi titik permulaan garis batas wilayah NKRI. Jika anda berkesempatan ke pulau ini, jangan lewatkan singgah di tugu nol kilometer.
Sabang telah dikenal sebagai pelabuhan terpenting di Selat Malaka sejah sebelum perang dunia II, jauh lebih penting dibanding Temasek (sekarang Singapura). Pemerintah kolonial Belanda tahun 1885 mulai memberlakukan era pelabuhan bebas yang dikenal dengan istilah Vrij Haven dan dikelola Sabang Maatschaappij (sumber: website resmi Pemkot Sabang). Catatan sejarah tersebut menjadi bukti betapa Sabang begitu penting di mata bangsa-bangsa Eropa kala itu. Dengan posisi geografis Sabang yang Strategis menjadikan Sabang sebagai kawasan utama alur perdagangan internasional.
Pesatnya Sabang sebagai pusat pelabuhan terpenting dan menjadi poros lalu lintas perdagangan internasional di Selat Malaka, tak lain karena Belanda mampu membaca dan memanfaatkan peta geostrategis Sabang dengan baik. Dalam konteks geostrategi, mereka telah mampu mampu membangun strategi efektif guna memanfaatkan kondisi geografis menjadi sebuah kekuatan baik secara politik maupun ekonomi.
Sayangnya, masa keemasan Sabang mulai meredup paska masuknya Jepang ke Indonesia. Sejak saat itu letak strategis Sabang sebagai pintu gerbang Selat Malaka mulai tenggelam. Imbasnya, Sabang yang dulu dikenal sebagai pusat perdagangan dan pelabuhan terpenting di Selat Malaka, justru tertinggal jauh dengan Singapura.
Berkaca dari Singapura yang saat ini menjelma sebagai kawasan transhipment utama alur perdagangan internasional di Selat Malaka, padahal negeri jiran tersebut tak memiliki sumber daya alam. Kenapa bisa terjadi? Faktanya Singapura mampu menerjemahkan peta posisi geostrategis secara baik dan langsung mengubah peta alur perdagangan global saat ini. Singapura kini menjadi sedikit dari negara di dunia yang berhasil memanfaatkan nilai tambah ekonomi paling besar dengan hanya mengandalkan letak geografisnya sebagai tujuan transit dan pelayanan jasa.
Sebagai negara kepulauan (archipelago state), Indonesia bisa dikatakan belum maksimal dalam memanfaatkan posisi geostrategis sebagaimana Singapura saat ini. Berbeda dengan Singapura, Sabang justru punya 2 (dua) nilai strategis penting yakni sumber daya alam melimpah dan letaknya yang berada di gerbang Selat Malaka dan Episentrum Andaman Custer. Fakta ini mestinya menjadi modal besar untuk menjadikan Sabang sebagai poros perdagangan internasional, bukan hanya sekedar kota transit, namun mampu memupuk nilai tambah ekonomi melalui pemanfaatan SDA yang ada.
Sabang dan Visi Poros Maritim Dunia
Fakta sejarah tentang pemanfaatan geostrategis Sabang, mulai memunculkan gagasan untuk kembali menjadikan Sabang sebagai pusat pertumbuhan di ujung barat Indonesia. Pemerintah melalui UU nomor 37 Tahun 2000 telah membentuk Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas Sabang (BPKS). Tugas pokok Badan ini yakni melaksanakan pengelolaan, pengembangan dan pembangunan kawasan Sabang sebagaimana fungsi kawasan Sabang sebagai pusat pengembangan di bidang perdagangan, jasa, industri, pertambangan dan energi, dan perikanan (sumber : www.pidii.com)
Pembentukan BPKS memang diharapkan akan memicu Sabang sebagai "prime mover" ekonomi di gerbang Malaka. Sayangnya, sejak 17 tahun dibentuk, keberadaan Badan ini belum secara signifikan mewujudkan mimpi Sabang sebagai pusat pertumbuhan atau bahkan belum banyak action yang berarti.
Saat ini di era Kabinet Kerja, visi besar menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia terus digaungkan. Visi ini penting untuk kembali meneguhkan bahwa pada hakekatnya Indonesia adalah negara maritim, sehingga pola pendekatan harus bergeser dari semula land-based development menjadi ocean-based development melalui pemanfaatan sumber daya ekonomi maritim.
Oleh karenanya, penting bagaimana memetakan strategi kemaritiman dengan mempertimbangkan posisi geostrategis Indonesia dalam kerangka memperkuat kepentingan geopolitik dan geoekonomi. Sabang dengan basis sumber daya yang ada hendaknya dibangun dalam kerangka memperkuat ke dua aspek di atas.