Seminggu sudah aku bekerja di sini, coffee shop ternama di kawasan wisata bergengsi. Pengalaman baristaku memang belum panjang, tapi modal tampangku yang lumayan dan postur tubuhku yang oke, aku menjadi satu kandidat terpilih yang berhasil menyisihkan sekian puluh saingan lainnya, mendapat kesempatan untuk menjadi barista di sini. Beruntung memang ... .
"Coffee and non coffee", itu slogan yang biasa ku teriakkan untuk menarik pembeli.
Sabtu sore itu ...
Sebenarnya sudah waktuku pulang, tapi weekend jam segini memang toko rame. Aku sedang berbaik hati membantu teman baristaku, Candra, melayani antrian pembeli yang mulai mengular.
Dan aku melihatnya di deretan pembeli yang antri di depan counter ... seakan waktu terhenti, lampu panggung tersorot ke dia. Gadis cantik berbaju merah. Rambutnya yang dikucir kuda, gayanya yang sportif, matanya yang hidup. Entah kenapa aku merasa senyumnya semanis madu, biarpun masker menutupi separuh wajahnya.
Dia yang sedang asyik main hp di sana, oh, aku langsung terpana pada pandangan pertama. Mungkinkah ini cinta?
"Bro, minta tolong kakak nya ini bayar pake debit", ujar Candra mengagetkanku dari lamunan.
Aku langsung beringsut dari tempatku dan menuju mesin BCA Flash untuk memproses pembayaran konsumen. Sesekali aku meliriknya, berharap aku lah orang yang akan melayani kopinya. Aku yang sedang terpesona penasaran ... .
Yah, mesinnya ngadat, jaringan lagi error. Butuh beberapa menit untuk melayani konsumen ini dan si gadis merah itu pun melenggang dengan anggun nya ke counter. Tiba gilirannya untuk dilayani, sayangnya itu bukan aku, huhuhu. Harapanku pun musnah sudah begitu dia pesen kopi untuk dibawa pergi, bukan untuk diminum di sini.
Senin yang sibuk ...
Kemacetan jalan memaksaku datang agak terlambat dari jam kerjaku yang seharusnya. Dengan terburu-buru aku menyusuri lorong meja yang ramai pengunjung. Di meja ujung, aku melihat beberapa cewek, anak kuliah, ku lihat dari jas almamater yang dikenakannya. Hening sekejap waktu ku lewat, bisik-bisik dan tertawa tertahan terdengar setelah ku menjauh. Sudut mataku melihat sesuatu, tapi aku tak punya waktu untuk mengetahui apa itu. Aku hanya berharap hari kerja ku akan baik-baik saja. Its a Money Day anyhow ... .
Begitu aku sudah siap, Daniel memintaku untuk menghantarkan pesanan kopi ke meja di pojok sana. Alamak, meja mahasiswi-mahasiswi yang tadi. Aku mencoba bersikap tenang dan profesional. Walaupun sebenarnya aku selalu kikuk di hadapan cewek-cewek.
"Palm Sugar Latte 1, Espresso Hazelnut 2, Matcha 1, Avocadoffee 2 ... benar ya pesanannya?", ujarku ketika sampai di meja mereka.
"Bener kak", jawab seorang berambut cepak.
"Eh, Sinta, kamu belum kami pesenin lho. Pesen gih, mumpung ada kak baristanya ke sini", ujar seorang berkacamata.
Yang disapa mengalihkan pandangannya dari laptop dan menatapku. Sesaat mata kita beradu. Aku merasa dalam Dejavu, mata itu tak asing, seakan aku pernah melihatnya, entah dimana.
"Apa ya? Mmm, es loreng aja deh", ujarnya enteng. "Siap", ujarku lalu berlalu.
Sepanjang membuat pesanannya,
benakku terus memikirkan mata indah itu. Entah kenapa aku merindukannya, ingin melihatnya lagi dan lagi. Sesekali aku melirik meja mereka, gadis itu masih terpekur di depan laptopnya, sementara teman-temannya bergurau bercengkrama. Dia seakan tenggelam dalam dunia kecilnya.
"Ini kak pesanannya", ujarku mengagetkannya. "Oh iya, terima kasih", senyumnya semanis madu. Madu? Aha, sekarang baru aku inget siapa gerangan dia. Si gadis berbaju merah, yang beberapa hari lalu datang dengan pesonanya. Hatiku serasa terbang melayang saking bahagianya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saatnya telah tiba, ingin sekali aku mengenalnya.
Aku salting, sepanjang sisa waktu aku mencuri-curi waktu, sekedar meliriknya ataupun lewat di depannya. Tapi dia secuek bebek. Beruntung kesibukan kerjaku menghiburku, hingga tak terasa dia pun berlalu. Bukan malam yang tak seperti ku harapkan, cintaku bertepuk sebelah tangan.
Jumat pagi yang manis ...
"Argh ... ", pekik suara cewek. Suara meja digebrak. Rupanya ada keributan di meja depan. Segera kutinggalkan pekerjaan merapikan counter dan menuju sumber suara itu.
"Dasar cowok tak tahu diri, otakmu taruh mana? Pinjem mobil temenku malah dibuat kencan sama gadis ingusan ini", cerocos cewek berambut cepak.
"Eh, udah, malu tahu", sergah teman di sebelahnya.
"Hati-hati dik, tau sekarang dia siapa kan? Buaya ... ! Mending kamu sekolah aja dulu deh yang bener, biar pinter, biar ga tertipu sama playboy cap sarang walet begini", seru si kacamata.
Cewek yang mengenakan seragam SMU itu mau tak mau beringsut menjauh dari meja. Rupanya dia yang berteriak tadi, tumpahan kopi telah membuat noda di kemeja putihnya. Baru kusadari apa yang terjadi. Cerita perselingkuhan yang berujung ketahuan.
Cowok ganteng itu menyeka wajahnya dengan tisu yang ada di meja. Wajahnya memerah menahan amarah, pastinya juga menahan malu. Seorang cewek telah berani menyiramkan segelas kopi ke wajahnya yang mirip artis, membuatnya meringis. Beruntung hanya es, coba kalau kopi panas. Bisa-bisa dia harus mengoperasi plastik wajahnya agar bisa kembali seganteng Angga Yunanda.
"Maaf Sinta, tapi aku bisa jelasin semua ...", jawab cowok ganteng itu sekenanya.
"Udah ga usah, aku ga butuh penjelasanmu. Mana kunci mobil sama STNK nya, kalian pulang aja", ucap Sinta santai.
Sinta bersikap tenang, heran aku dibuatnya. Bagaimana bisa dia yang teraniaya malah setenang samudera, justru teman-temannya yang bereaksi.
"Sinta, please ... ", si cowok mulai mengiba.
"Eh, pulang ga lo! Atau mau kuguyur pake kopi seember?", hardik si kacamata makin ketus. Cowok ganteng itu sesaat terpaku terdiam menatap Sinta, ada penyesalan di matanya. Dia mengulurkan kunci mobil dan STNK sambil mencoba meraih tangan Sinta, tapi dengan cekatan Sinta mengambilnya dan menjauh dari hadapannya.
Si cowok mengerti, sudah waktunya dia pergi.
"Maaf kak", ujar anak SMU itu pada Sinta. Tanpa menunggu jawaban dia pun berlalu, berjalan menguntit di belakang cowok itu.