Lihat ke Halaman Asli

Internsip Dokter: Sebuah Ironi Berujung Duka

Diperbarui: 23 Desember 2015   14:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Awan hitam menaungi dunia kedokteran Indonesia di penghujung tahun 2015 ini. Kematian 2 orang dokter internsip dalam pengabdiannya di daerah terpencil di Dobo, Kepulauan Aru, Maluku  masih menyisakan duka mendalam bagi sejawat dokter lainnya. Program intership yang sejatinya digadang-gadang menjadi terobosan untuk meningkatkan kualitas dan kemahiran para dokter baru ternyata di sisi lain memunculkan ancaman berupa kematian. Kondisi geografis dan terbatasnya transportasi di daerah terpencil  dijadikan kambing hitam sebagai penyebab lambatnya penanganan terhadap kedua dokter tersebut. Peristiwa tersebut tentunya membuat masyarakat miris. Bagaimana tidak? Cita-cita luhur untuk mengurangi kesenjangan pelayanan kesehatan melalui pengabdian di daerah terpencil harus dibayar  mahal dengan hilangnya nyawa. Meskipun dari sisi agama kematian adalah takdir Yang Maha Kuasa, tetapi isu mengenai internsip ini perlu mendapatkan perhatian dan kajian di level pembuat kebijakan agar kejadian memilukan tersebut tidak terulang kembali.

Internsip merupakan produk baru Pemerintah di ranah kedokteran sejak dilaksanakan tahun 2010 lalu. Menurut Peraturan Konsil (Perkonsil) Kedokteran Indonesia No. 1/Tahun 2010, internsip merupakan program pelatihan keprofesian berbasis kemandirian pada pelayanan primer guna memahirkan kompetensi, meningkatkan kinerja, dan menerapkan standar profesi pada praktik kedokteran setelah selesai  pendidikan dokter dan uji kompetensi. Dengan kata lain internsip merupakan sesi magang bagi para dokter baru sebagai syarat untuk dapat berpraktek secara mandiri dan merupakan hal yang wajib dilaksanakan untuk mendapatkan Surat Izin Praktek (SIP). Kebijakan tentang program internsip memunculkan  tanda tanya besar, apakah  terdapat kesangsian tentang kualitas lulusan dokter di Indonesia sehingga diperlukan lagi proses yang cukup panjang untuk meningkatkan kompetensi para dokter tersebut.

Isu mengenai pembangunan dan pengembangan kualitas tenaga kesehatan  termasuk dokter, merupakan fenomena yang menjadi buah bibir di abad  ini dan menjadi sangat penting karena tenaga kesehatan merupakan kunci dari keberhasilan pembangunan kesehatan di suatu negara. Menyoal tentang kompetensi seorang dokter bukanlah perkara sederhanadan mudah ditelaah, karena hal ini menyangkut berbagai kebijakan dibidang pendidikan maupun kesehatan. Sesuai dengan Undang–Undang N0. 20/tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, sistem pendidikan kedokteran di Indonesia memasuki babak baru dengan berbagai isu pokok termasuk diantaranya program internsip dan Dokter Layanan Primer (DLP). Kontroversi yang terjadi berkaitan dengan kedua program  ini pada akhirnya seakan membuat keduanya menjadi ikon dari UU baru tersebut.

Banyak pihak yang mempertanyakan dan menyayangkan bertambah panjangnya rentetan proses yang harus dilalui untuk menjadi seorang dokter. Apakah lamanya proses tersebut akan berbanding lurus dengan kompetensi yang dimiliki oleh seorang dokter? Apakah dengan mewajibkan para lulusan dokter baru untuk mengabdi di daerah akan menggugah rasa kemanusiaan mereka untuk terus mengabdi disana? Kegamangan tersebut harus dapat dijawab dan segera dibuktikan. Ketidakjelasan status dokter internsip beberapa waktu lalu terbukti dengan adanya pernyataan salah satu pejabat tinggi selevel menteri yang kurang tepat dalam menyebut peserta internship bukanlah seorang dokter, melainkan masih berstatus mahasiswa kedokteran. Kejadian tersebut sontak membuat publik kaget dan bingung, terlebih dikalangan dokter sendiri, seakan menjawab kegaduhan akibat status dokter internship yang masih “abu-abu”. Sudah berstatus dokter (karena sudah lulus dan melaksanakan sumpah dokter) tetapi belum memiliki kewenangan untuk berpraktek mandiri.  

Internsip juga dikaitkan dengan  diluncurkannya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) awal tahun 2014 lalu. Program internsip diharapkan mampu mendukung pelaksanaan JKN dengan meningkatkan akses tenaga kesehatan (termasuk dokter) di seluruh penjuru Indonesia terutama didaerah terpencil. JKN yang digawangi oleh BPJS dan memiliki tagline “Penguatan Fasilitas Kesehatan Primer” seakan sejalan dengan misi program internsip seperti yang termaktub dalam Perkonsil No.1/Tahun 2010 pasal 3 (1), yaitu memberikan kesempatan kepada dokter yang baru lulus pendidikan kedokteran untuk memahirkan kompetensi yang diperoleh selama pendidikan ke dalam pelayanan primer dengan pendekatan kedokteran keluarga. Kedokteran keluarga dalam peraturan tersebut pun masuk dalam ranah ruang lingkup program DLP. Seluruh keterkaitan ini bukan tanpa sebab dan tentu saja memiliki tujuan tertentu. Munculnya program  internsip dan DLP bukan tidak mungkin memang “sengaja” dipersiapkan untuk mendukung pelaksanaan JKN menuju universal health coverage. Dengan demikian terjawab sudah benang merah antara internsip, DLP dan JKN.

Belum jelas permasalahan mengenai pendidikan  kedokteran di dalam negeri, isu mengenai profesi dokter juga dikaitkan dengan era pasar bebas dimana distribusi jasa pelayanan kesehatan dari dan ke luar negeri terbuka lebar. Keadaan ini merupakan sebuah tantangan bagi dokter Indonesia untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas diri agar mampu bersaing di era globalisasi tersebut. Akhirnya mari berharap dan berbaik sangka terhadap kebijakan Pemerintah mengenai program internsip yang memiliki tujuan mulia untuk meningkatkan kemahiran dan kemandirian profesi dokter di Indonesia. Dan mari berharap semoga Pemerintah dapat lebih memperhatikan kesejahteraan dokter-dokter muda internsip serta memperbaiki akses transportasi dan keterjangkauan di daerah terpencil tempat mereka mengabdi. Karena ditangan para dokter inilah sebagian masa depan dan cita-cita Indonesia terbentuk. Kita harus berpikir positif dan berpikir jernih untuk mencari solusi bersama agar kejadian yang terjadi pada  dr. Andra dan dr. Nanda tidak menimpa sejawat dokter yang lain. Dan semoga gugurnya kedua dokter tersebut saat menjalankan tugas tidak menyurutkan langkah dan semangat rekan yang lain untuk memberikan pengabdian terbaiknya bagi bangsa dan negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline