Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com
Tujuh belas priaDelapan wanita Empat puluh lima anak-anakItu IndonesiaMerah meriah Putih lagak kitaBersiap menyongsong viktoriGemilang, gemuruhGejolak semusim seperti agenda tahunanNamun disudut lapanganKakek nenek renta murung menatap tiangDipuncaknya ada kainApa itu masih merah putih yang dulu?Batin mereka...Rumusan itu kami yang buatKalian tinggal melanjutkan sajaSistem itu juga kami susunKalian hanya sisa mebenahi Nasionalisme itu kami yang tanamSemoga kalian masih ingat soal ituLalu integrasi?Jangan lupa, kami wafat untuk ituDengan raungan Dan bukan rengekanSingkat saja, kami beri kalian warisanTanpa manipulasi, egoistis atau kekuatan liarBerharap kalian punya identitas identik pancasilaBukan membebek saja pada sabda teknokratItu wajah kami,Bagaimana wajah kalian sekarang?Kami lihat kalian resah bila tak bermodalOrientasi beralih menuju penumpukan kekuasaanSemakin keadilan dicanangkan jadi asas pembangunanSemakin pula keadilan jadi ideal tak kesampaianMenghukum yang kecil Membesarkan yang besarHukum dikomoditikan dengan nilai tukarLalu jadi momok tua di era sejuta harapanAmpun Gusti, kami yang salahLupa mewariskan akal budi juaSehingga kami saja yang mampu lihatMerah Putih yang kalian samarkanSekarang jadi hitam.Lecon Alfa Privatinum_13'08'11