Lihat ke Halaman Asli

Jari Terakhir

Diperbarui: 24 Juni 2015   16:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sepagi ini, ketika hujan masih turun dengan derasnya, aku sudah berada dalam perut Merpati yang membawaku pulang kampung. Ini bukan kepulangan yang kurencanakan. Bukan karena ingin bakar lilin di pusara ayah, bukan karena ingin mempersunting Gadis, istri tungkuku di kampung, dan bukan pula untuk merayakan Paskah bersama keluarga. Aku pulang karena Poli yang memintanya. Semalam, jari terakhir Poli lenyap dari tempatnya. Bagaimana hal ini terjadi, siapa yang melenyapkannya, di mana kini ia berada, tak ada yang tahu, Poli pun tidak. Para cenayang yang terkenal tangguh di kampung juga belum mampu menemukannya.

Aku kembali tak hanya karena Poli adalah sahabatku. Tetapi karena aku merasa, akulah penyebab petaka ini. Bukan penyebab langsung, tapi penyebab tak langsung lebih tepatnya. Aku kembali untuk mencoba menyembuhkannya. Aku bukan penyembuh, aku bukan pendoa. Aku pulang berbekal bisikan dari Ki Jaka Pintar, perihal cara mendapatkan kembali jari terkahir Poli. Aku tak yakin apakah cara ini akan berhasil, mengingat musim hujan yang buruk ini. Aku berharap dan berdoa, setibanya aku di kampung, hujan perlahan-lahan jadi gerimis, silahkan sinar matahari menyentuh bumi. Saat itulah, aku bisa mencoba menyembuhkan Poli.

Bila jari terakhirnya tak segera ditemukan maka petaka berlipat-lipat akan dialami Poli. Bukan hanya perjuangannya, bukan hanya cita-citanya yang sirna tapi juga hidupnya akan tamat. Poli tidak akan berani menikahi Nadia, tiket baginya menuju kemenangan. Aku yakin, sungguh-sungguh yakin, cincin bertuah, cincin pelangi namanya, yang melingkari jari terakhirnyalah yang membawanya pergi. Aneh dan tak masuk di akal bukan? Tapi ini sungguh-sungguh terjadi. Hidup di kampung, semuanya bisa menjadi mungkin.

Jangan menuduhku sebagai sahabat yang jahat, tak punya hati untuknya. Ketahuilah, sebagai sahabat yang baik, aku pernah mengingatkannya untuk tidak menggunakan barang-barang bertuah itu. Begini kataku dulu padanya, tuah tak pernah datang sendirian. Ia datang bersama saudara kembarnya tulah. Tulah pun tak pernah datang tanpa kekasihnya tumbal. Tuah. Tulah. Tumbal.

“Sahabatku, tingggalkan niatmu ini. Kamu mungkin mendapat bahagia karena rejeki sekejap mata tanpa berlama-lama menunggu. Tapi ingat ketika engkau terlena, maka perlahan-lahan tulah dan tumbal masuk dalam rumahmu. Ia akan datang untuk membawa lari setiap orang yang tinggal di dalamnya. Mungkin ayahmu atau ibumu atat saudaramu atau saudarimu atau kekasihmu atau bahkan dirimu sendiri.” Saat itu, ia tak menghiraukannya. Ia tetap pada pilihannya.

“ Baiklah. Poli berhati-hatilah menggunakan benda-benda bertuah itu. Ketahuilah, kamu telah menduakan Tuhan. Itu tidak baik!”

***

Masih lekat dalam ingatanku, semangat Poli yang begitu berkobar-kobar ingin membersihkan wajah politik di negeri ini.

“  Sas, wajah negeri ini kian bopeng dan dipenuhi jerawat-jerawat.” demikian kata Poli sambil melihat jauh ke jalan raya yang ada di depan kontrakan kami. Ah..mungkin saja tatapan lebih jauh dari dugaanku. Lama ia terdiam sebelum akhirnya ia lanjut berkata ” Wajah negeri ini yang dulunya cantik dan tampan, mulus dan tulus kini telah berubah jadi buruk rupa oleh laku dan kata anak-anak kandung negeri ini sendiri.”

“ Yah..yah..kalau perempuan yang berjerawat atau kini bahkan laki-laki yang berjerawat susahnya minta ampun” tanggapku untuk mencoba mengurai dan menyelami maksud kata-katanya. Sambil meraba-raba wajahku sendiri, “ Bintik-bintik merah menjelma menjadi sekumpulan ranjau-ranjau mematikan. Ranja-ranjau itu harus segera dijinakkan jika tidak mereka akan meledak dan menghancurkan tubuh atau sekurang-kurangnya membuat tubuh jadi tak berbentuk lagi, berlubang-lubang, tak lengkap lagi. Dan itu petaka bagi laki perempuan yang memuja tubuh tanpa batas.

“ Bayangkan saja, mereka tidak bisa tidur, makan nasi seukuran satu genggam tangan laki-laki dewasa pun tak tuntas. Seharian mereka memandang diri pada cermin di dalam kamar tidur. Tidak puas pada cermin seukuran wajah, mereka segera beralih pada cermin seukuran tubuh di dalam kamar mandi. Mereka tidak masuk kerja karena sakit perut, demikian dalih mereka pada atasan. Dengan wajah bercadar, mereka menyelinap keluar rumah hanya untuk membeli cream aneka jenis untuk menghilangkan jerawat. Manusia, laki perempuan menjadi gelisah tak karuan. Seolah-olah hidup ini hanya seluas wajah mereka ” Kata-kata Poli sambil melirik diriku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline