Lihat ke Halaman Asli

Anak Tuhan

Diperbarui: 24 Juni 2015   16:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suasana di luar rumah begitu riuh. Riuh bukan karena teriakan anak-anak kecil yang sedang bermain-main. Bukan pula karena dentum musik dari kos-kosan di sebelah rumah. Riuh ini hadir lantaran suara angin yang sedang bertiup dengan kencangnya. Lihat dan dengarlah, rumput-rumput kingres dengan daunnya yang panjang saling bergesekan. Gerakan rerumputan itu layaknya pendekar-pendekar yang sedang bertarung dengan pedang mereka masing-masing. Yah, gemerisik rerumputan serupa gemerincing pedang para pendekar hebat yang saling bersambut. Tak hanya riuh dedaunan dan rerumputan. Tetapi juga riuh karena pintu dan jendela rumah yang dibanting berkali-kali oleh angin. Riuh dan berisik. Riuh itu terkadang hilang sebab angin sedang bermain di tempat lain. Namun, beberapa menit kemudian, riuh itu pun bangkit kembali. Angin telah kembali di tempat ini. Yah, begitulah  suasana kota kami di hari-hari ini. Alam tak lagi memberikan hujan tetapi angin. Ada yang bilang ini pertanda kemarau akan datang. Namun, aku berpikir, apa itu akan benar terjadi? Aku kurang yakin. Banyak hal yang telah berubah. Banyak hal yang tak pasti lagi. Sepertinya, alam sedang bermain-main dengan manusia. Bahkan aku berpikir alam perlahan-lahan sedang menunjukkan kekuatannya yang sebenarnya.

Riuhnya alam serupa dengan risau hatiku. Risau ini bermula sejak sebulan yang lalu. Risau yang bermula dari galau dan bimbang yang dialami Santo tentang hidupnya saat ini. Santo berjanji untuk memberikan kepastian jawaban hari ini. Untuk menanti jawaban tersebut, aku tak pernah jauh dari telepon rumah sejak pagi tadi. Aku ingin di dering telepon yang pertama, aku langsung mengangkatnya. Aku ingin Santo tahu bahwa aku sungguh-sungguh peduli dan memperhatikannya. Aku menanti jawaban yang menentukan hidup Santo selanjutnya.

Kuperhatikan jarum jam. Saatnya aku berdoa angelus. Aku berdoa di ruang tamu, tetap di samping telepon. Aku yakin Tuhan mengerti dengan keadaan ku. Lagi pula, aku sangat yakin Tuhan tak hanya ada di dalam ruang doa tetapi juga Tuhan ada juga  di mana-mana. Selepas doa angelus, dering telepon belum juga datang. Rasa kantuk mulai menyerangku. Yah, di usiaku yang sekarang ini, rasa kantuk sering datang lebih awal. Tapi aku tak ingin terlalu tunduk pada usia fisik yang semakin senja ini. Ku coba mencari-cari aktivitas yang bisa kulakukan tanpa harus meninggalkan pesawat telepon.

***

Wajah Santo di usianya yang ke-27 mengingatkanku pada Simon. Simon, pria yang menikahiku 28 tahun yang lalu. Pria yang setia menemaniku dalam suka dan duka. Pria yang rela melakukan apa saja untukku. Terutama ketika aku menderita sakit yang membuatku tak mampu lagi berjalan sebagaimana normalnya. Ia tak pernah merasa jenuh dan gerah dengan keadaan diriku ini. Saat ingin buang air kecil atau air besar, ia akan memikulku ke toilet. Ia memandikanku layaknya seorang ibu memandikan bayinya. Ia selalu mencari informasi tabib dan obat terbaik untuk menyembuhkan sakitku. Ia tak pernah malu mengakui bahwa wanita yang berjalan tertatih-tatih, tak cantik lagi, yang selalu berjalan dengan dipapah adalah istrinya. Simon sungguh pria pendamping terbaik dalam hidupku. Ia selalu ada untukku. Ia tak tergantikan oleh siapa pun. Ia terus berjuang demi kesembuhanku sampai hari kepergiannya yang abadi.  Sebuah kepergian tak terduga. Seharusnya aku,yang sakit ini, yang beranjak ke rumah Bapa di surga bukan Simon. Selalu, ketika mengenang hal ini, aku pasti menangis.

Untuk menemani penantianku ini, aku membuka sebuah lagu karangan John Rutter yang berjudul The Lord Bless you and keep you. Lagu favorit dan diriku. Lagu yang indah dengan syair-syair yang menguatkan imankami.

Bersamanya, aku dikarunia tiga orang anak. Seorang putera dan dua orang puteri. Ketiganya tidak lagi bersamaku. Mereka telah bertumbuh dewasa. Begitu cepat rasanya waktu memisahkan mereka dari pelukanku. Namun hal ini harus terjadi. Bukankah akupun pernah berlaku demikian pada kedua orang tuaku. Yah, mereka sedang menimba ilmu, merenda masa depan mereka sendiri. Aku tak ingin mengurung mereka di dalam rumah ini hanya karena keadaanku saat ini. Mereka harus berjuang untuk kebahagiaan hidup mereka. Yah kebahagiaan hidup. Kejarlah hidup yang membuatmu bahagia. Aku selalu berdoa untuk kebahagiaan ketiga anakku. Dua puteriku, Tiara dan Santi tidak tinggal sedaratan denganku. Mereka jauh di seberang lautan, di tanah Jawa. Sedangkan puteraku, Santo tinggal sedaratan denganku. Meskipun sedaratan denganku, ia jarang berkomunikasi dan mengunjungi aku. Untuk hal ini, aku tak bisa menyebutnya anak durhaka seperti Malin Kundang. Hal itu memang harus terjadi. Itulah tuntutan dari kehidupan yang sedang dijalani oleh puteraku.

Berbeda dengan kedua saudarinya yang selalu menelepon aku. Bercerita banyak hal tentang apa yang mereka alami. Bukankah itu yang sering dilakukan para gadis, mencurahkan isi hati kepada sang bunda. Terlepas dari kebiasaan umum seperti itu, mungkin pula mereka berbuat demikian untuk mengusir kesendirian dan kesunyian dalam rumah ini. Kesendirian dan kesunyian karena Simon telah pergi ke Rumah Bapa di surga. Simon…Simon, mengapa engkau pergi tanpa pesan satu pun untuk aku dan ketiga anakmu? Tanpa terasa air mataku jatuh. Jatuh membasahi wajah simon yang terbingkai dalam foto berukuran 4 R. Simon meninggalkanku seorang diri. Kini, aku adalah ibu sekaligus ayah untuk mengurusi ketiga anak kami. Menjadi ibu sekaligus ayah dalam kondisi yang belum pulih kesehatanku. Memang tak mudah untuk mengalami sebuah kehidupan sebagai orang tua tunggal. tapi aku tak mau mundur selangkah pun. Aku akan terus maju dan berjuang demi anak-anakku. Aku berjuang menyelesaikan semua utang keluarga kami dan menyekolahkan anak-anakku. Tuhan sungguh mahabaik dan Ia telah membuat segalanya menjadi baik pada waktunya. Tuhan memperlancar semua hal yang menjadi harapanku dan anak-anakku. Tuhan sungguh luar biasa.

***

Yah, hari ini, aku sedang menanti jawaban puteraku. Jawaban final untuk perjalanan kehidupannya. Bila mengingat perjalanan hidup anakku, aku sebenarnya tak perlu gelisah. Dari tahun ke tahun semenjak puteraku menempuh pendidikan, aku sudah sering dihantui kegelisahan. Gelisah, apakah anakku bertahan ataukah dikeluarkan dari sekolahnya. Aku senantiasa berdoa agar ia tetap bertahan dan sukses dalam belajarnya terutama dalam panggilan hidupnya. Keberhasilan Santo berarti kebanggaan keluarga.

Aku bukanlah seorang perempuan yang rajin berdoa seperti sekarang ini. Aku mulai rajin berdoa saat aku berjumpa dengan seorang perempuan berkerudung biru. Perempuan berkerudung biru, yang aku yakini sebagai Bunda Maria. Aku senantiasa berdoa Rosario, berdoa Novena Tiga kali Salam Maria. Bunda Maria memintaku untuk mendirikan sebuah gereja. Gereja itu harus diberi nama KOPASE. Ini terjadi dalam mimpiku. Awalnya aku berpikir mimpi ini hanyalah bunga tidur. Muncul sekali dan kemudian hilang selamanya. Aku tak mau bercerita kepada orang lain bahkan suamiku tentang mimpi ini. Mimpi bertemu dengan Bunda Maria bukanlah mimpi biasa. Orang pasti akan menertawakanku bila aku bercerita tentang hal ini. Bagaimana mungkin orang sepertiku bermimpi berjumpa dengan Bunda Maria. Bagaimana mungkin Bunda Maria memilihku sebagai perantara? Ketakutan dan keraguan ini membuatku tak ingin bercerita apapun kepada siapa pun. Rupa-rupanya tidak. Mimpi serupa terus berlanjut selama seminggu. Mimpi yang berlanjut seperti ini membuatku gelisah dan tak tenang. Simonlah orang pertama yang mendengar cerita tentang mimpiku ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline