Lihat ke Halaman Asli

Hoaks, Anak Kandung Post Truth

Diperbarui: 18 Maret 2019   16:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ketika orang lebih memercayai keyakinannya, ketimbang fakta yang terjadi.

(Tulisan ini sebagian besar saya ambil dari paper Dr. Haryatmoko, Dosen tetap di Unversitas Sanata Darma, Jogjakarta dan dosen tamu di Pasca-sarjana Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, yang dipresentasikan dalam seminar "Era Post-Truth" di UI, Februari lalu).

Ketika mendengar akan ada seminar mengenai Post-Truth yang diadakan Program Studi Pascasarjana Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, saya sangat berkeinginan untuk hadir. Post-Truth atau Pasca-kebenaran adalah sesuatu yang ingin saya ketahui. Saya tertarik mengenai eksistensinya saat ini.

Ternyata saya tidak bisa hadir tapi beruntung mendapat dua paper pembicarannya pada waktu itu. Salah satunya tulisan Dr. Haryatmoko yang biasa dipanggil Romo Moko, yang penulisannya sangat mengalir, mudah dicerna, bahkan oleh saya yang sebenarnya sulit memahami Ilmu Filsafat.

Romo Moko memulai tulisannya dengan menyebutkan fenomena hoax yang masif menyebar, menghentak akal sehat. 

Masyarakat dikondisikan untuk mengabaikan verifikasi kebenaran. Kebohonan menyelinap dengan mudah, melalui kebingungan orang dalam membedakan antara berita, opini, fakta, dan analisis.

Hoax makin menyuburkan polarisasi masyarakat karena meneguhkan keyakinan atau ideologi masing-masing kelompok. Mereka menolak nalar yang berbeda, meski masuk akal dan obyektif. Bahkan fakta tidak lagi dianggap, demi keyakinan kelompok dan ideologi. Kenapa? Menurut Arendt (1979), pembohong berbicara dengan logika dan harapan yang dibohongi. Tesis Arendt mirip dengan logika hoax yang memuaskan keyakinan pembaca dan pendengarnya. "Hoax adalah anak kandung era Post-Truth," kata Romo Moko.

Masih mengutip tulisan Romo Moko, Era Post-Truth menurut J.A. Llorente, era Post-Truth adalah iklim sosial politik di mana objektivitas dan rasionalitas membiarkan emosi atau hasrat memihak ke keyakinan mereka meskipun fakta menunjukkan hal berbeda. (2017:9).

Lalu kenapa era Post-Truth muncul?
Ada tiga penyebabnya, yaitu pertama, bentuk devaluasi kebenaran yang berlangsung sebagai dampak dari narasi politisi penebar demagogi (yang ini agak ga mengerti ); kedua, banyak orang atau kelompok merasa nyaman dengan informasi yang dipilih; dan ketiga, media lebih menekankan sensasi sehingga hanya berita baru, spektakuler, dan sensasional layak disebut sebagai worth news. Kecenderungan ini menyuburkan perkembangan hoax.

Perkembangan media alternatif seperti WhatsApp, Facebook, SnapChat, Twitter, Youtube, dan blog pribadi makin menyuburkan hoax. Media sosial tersebut memungkinkan mudahnya berita palsu menyebar sehingga berlangsung banalisasi kebohongan dan relativisasi kebenaran. Kredibilitas media pudar, kalah dengan opini pribadi. Fakta menjadi nomor dua, kalah dengan keyakinan dan hasrat pribadi.

Pertanyaan berikutnya adalah di mana kebaruan Post-Truth dibanding kebohongan yang sudah sejak lama dipraktikkan di politik? Menurut Romo, ada enam kebaruan yang menandai era Post-Truth, yaitu luasnya akses ke konten informasi karena digitalisasi komunikasi, masyarakat bisa membuat informasi sendiri melalui media sosial, demokratisasi media dan jurnalisme warga yang mengkompensasi ketidakpuasan masyarakat terhadap informasi media massa dan kekecewaan terhadap politik, masyakat lebih rentan menerima informasi keliru karena berkembangnya komunitas se-ideologi, teknologi mengacaukan kebenaran karena viral dianggap lebih penting daripada kualitas informasi dan etika, dan kebenaran tidak lagi difalsifikasi atau dibantah, tetapi menjadi nomor dua.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline