Ketika meriset 'Negeri Bahagia', maka google hampir seluruhnya menayangkan novel Dominique Lapierre "The City of Joy". Novel tersebut bercerita tentang sebuah perkampungan KUMUH, dengan huruf besar, untuk menunjukkan betapa miskin dan sengsaranya orang-orang yang ditinggal di situ. Penulisnya menyebutnya sebagai mulut neraka, pusat kemelaratan di India. Saya lebih suka mengatakan "surga"nya neraka.
Nama perkampungan itu Anand Nagar, dari Bahasa India, yang kalau diterjemahkan berarti Negeri Bahagia. Sangat satir kalau dilihat dari kemiskinan yang mereka alami.
Begitupun, mereka yang berasal dari berbagai suku, agama, dan ras, menjalani hidup dengan bahagia. Dalam penderitaan mereka menjadi lebih dekat, tolong menolong, dan mencintai sesama tanpa melihat asal usul, agama, ras dan kelompoknya. Dalam kemelaratan, ada ruang yang penuh kepercayaan di antara mereka.
--
Kabar sedih itu datang di akhir tahun 2018. Rifai Pamone, Jurnalis Metro TV meninggal dunia karena sakit. Dunia media sosial, facebook dan twitter, ramai dengan ucapan belasungkawa. Cerita tentang Rifai seorang wartawan andal dengan masa depan gemilang, yang pergi di usia muda, mengisi laman facebook dan twitter di hari kepergiannya.
Dari sekian banyak cerita positif tersebut, sebuah akun facebook "bersyukur" atas kematian Rifai. Statusnya, dengan foto Rifai sedang live report demo 212, berbunyi masih ingat orang ini yang meliput demo 212 tahun 2016. Ketika itu, Rifai yang sedang melakukan laporan langsung, diintimidasi para pendemo dengan berteriak "Metro Tipu" berulang-ulang.
Saya menemukan "Ucapan Syukur" atas kematian Rifai sebagai lampiran yang dibagikan seorang teman di laman facebooknya. Saya ikut membagikan sebagai bentuk keprihatinan. Tapi, ketika saya mencarinya lagi, lampiran tersebut sudah tidak tersedia. Facebook memberi penjelasan: Lampiran ini mungkin sudah dihapus atau pengaturan privasi.
Ini memang terjadi di media sosial. Tapi, bukankah itu sebuah wajah realitas sosial yang sedang terjadi di Indonesia saat ini? Ada orang-orang yang dengan pongahnya menyatakan kegembiraannya atas kematian orang lain.
Seolah-olah mereka Tuhan yang sedang menghakimi manusia. Komentar-komentar yang jumlahnya cukup banyak lebih sadis lagi. Mulai dari mengatakan Rifai mendapat azab Allah, dia pantas mati, dan lain sebagainya, yang saya tidak sanggup menuliskannya. Betapa mereka yang berbahagia atas kematian orang lain, yang hanya mereka kenal di layar sosial media, sebenarnya orang-orang paling tidak bahagia.
Maret 2018, PBB mengeluarkan indeks untuk mengukur tingkat kebahagiaan di berbagai negara. Tingkat kebahagian yang diukur Gallup World Poll dan diberi nama "World Happiness Report", menelisik berbagai hal yang tidak melulu soal kemakmuran sebuah negara. Melalui The Sustainable Development Solutions Network for the United Nation, PBB mengukur beberapa aspek yaitu pendapatan, kebebasan, kepercayaan, harapan hidup sehat, dukungan sosial, dan kemurahan hati.
PBB mendeklarasikan sepuluh negara paling bahagia adalah Finlandia, Norwegia, Denmark, Islandia, Swiss, Kanada, Selandia Baru, Swedia, dan Australia. Negara-negara Nordik di Eropa Utara ada di peringkat atas, sementara negara yang dilanda perang dan kawasan Afrika sub-Sahara terperosok di barisan bawah.
Burundi adalah negara "paling tidak bahagia". Negara tersebut berada di Afrika bagian Timur yang berpenduduk sekitar 11 juta. Negara yang anjlok paling parah adalah Venezuela - yang sedang dilanda rusuh politik - turun 20 tingkat dari posisi 82 menjadi 102 tahun 2018.
Ada lima persamaan yang dimiliki negara-negara paling bahagia di dunia tersebut yaitu tingkat pemasukan yang sama, harapan hidup tinggi, kebebasan penuh dalam memilih, saling percaya, dan mempunyai prioritas yang pas dalam membangun negara. Mereka lebih memprioritaskan pendidikan, pekerjaan, kesejahteraan mental dan kehidupan keluarga daripada status personal, pemasukan, dan konsumerisme.