Banyak hikmah dibalik konsletnya hape saya....selama 3 hari ini 4 buku sudah habis saya baca, Suti - Sapardi Joko Darmono, Gadis Pantai - Pramodya Ananta Toer, Anak anak Revolusi - Budiman Sudjatmiko dan terakhir TAN: Sebuah Novel, yang ternyata terbitan Februari 2016 (baru tahu setelah searching di google tentang sosok Ibrahim a.k.a Tan Malaka)
Saya selalu suka kisah anak anak muda usia 16-17 tahun yang sudah berpikir, apa yang harus mereka lakukan untuk bangsanya, sudah berpikir peduli terhadap masyarakat sekitarnya, tidak sekedar berpikir, tetapi mereka belajar, menganalisis, berdiskusi dan kemudian bertindak. Cool, seumur itu?...
(inget jaman saya SMA n Kuliah, EGO aja yang dipikir)
Terus berpikir bagaimana menanamkan rasa itu ke murid murid saya yah, biar nggak kayak gurunya ini...
Mereka biasanya pasrah pada kemiskinan yang mendera, pasrah dengan keadaan sosial yang mereka hadapi, karena cara paling mudah cari perhatian dengan tindakan menyimpang, jadi deh mereka berhadapan dengan aturan aturan yang tidak pernah menyelesaikan akar masalah mereka
Balik lagi ke novel TAN, tulisan Hendri Teja ini empuk, enak sekali dicerna, pilihan katanya pas sekali dengan suasana jaman dulu. TAN bernama asli Ibrahim seorang anak muda cerdas dan peduli yang berkesempatan sekolah guru di Nederland. di buku ini diceritakan TAN menentang adat untuk belajar ke Nederland, namun saya baca di biografi TAN di Wiki, justru Ibrahim didukung keluarganya untuk belajar ke Nederland
TAN bisa belajar, dan dikenal banyak orang, sebagai seorang sosialis sejati karena tulisan tulisannya, orang banyak mengenal namanya, bukan wajahnya, hal ini menguntungkan pergerakannya, juga mengetahui apa yang orang lain pikirkan tentang tulisannya
menurut Wiki, Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, LimaPuluh Kota, Sumatera Barat, 2 Juni 1897– meninggal di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, 21 Februari 1949 pada umur 51 tahun
Yang menarik saat TAN mendirikan sekolah Serikat Islam Semarang sekitar tahun 1921, kurikulum yang diusung adalah kurikulum yang berbeda dengan sistem pendidikan kolonial yang membebek pada kapitalisme. Menurutnya - seperti yang ditulis Hendri Teja di halaman 215, Pendidikan sejati mesti bertumpu pada tiga tujuan. Pertama, pendidikan keterampilan sebagai bekal untuk berkuprah dalam masyarakat kapitalis, seperti membaca, menulis, erhitung, ilmu alam, bahasa. Kedua, pendidikan bergaul, berorganisasi dan berdemokrasi guna membentuk karakter pemuda Hindia (sebutan Indonesia waktu itu) Ketiga pendidikan yang berorientasi cinta kepada rakyat melarat.
Sekolah SI atau Sarekat Islam Semarang maju pesat, TAN berkeyakinan, dengan pendidikan, maka akan meningkatkan martabat bangsa. Siapapun kita, apapun keadaan kita, kaya miskin, putih cokelat, Islam Kristen, kita dilahirkan MERDEKA. Itulah martabat yang sesungguhnya, Kemerdekaan Sebagai Manusia - TAN p.216
Dari novel ini saya menyadari, bahwa divide et empera yang diterapkan oleh pemerintah Belanda saat itu masih terasa hingga sekarang. Di masa nya, tahun 1920 an, Sarekat Islam dan Partai Komunis Hindia terpecah, padahal perjuangan mereka sama, sama sama melawan pemerintahan kolonialisme Belanda, melawan penjajahan, melawan kemiskinan dan kebodohan. Pemerintah Belanda tahu pasti, jika dua perserikatan itu bersatu, kedudukan mereka akan goyah, perekonomian mereka ikut terguncang.