[caption id="attachment_191505" align="alignleft" width="83" caption="From:wikipedia"][/caption] Pada tahun 1998 saya pernah dikenalkan oleh sepupu saya dengan seorang mantan Dosen di Belanda yang sekarang memilih hidup sebagai seorang pengusaha. Ia tinggal di Prawirotaman Yogyakarta. Saya lihat album-album foto Londo itu dan saya tanyakan mengapa sekarang tidak menjadi Dosen lagi ? Londo itu menjawab, di Belanda diadakan perampingan tenaga pendidik oleh pemerintah. Para pendidik disuruh memilih akan tetap berprofesi sebagai seorang pendidik atau memilih profesi lain dan akan diberi pesangon sejumlah 1 tahun gaji. Akhirnya Om Jansen, Londo itu memilih sebagai pengusaha.(Beberapa bulan lalu tentang kebijakan Pemerintah Belanda ini sempat saya tanyakan validitasnya melalui e-mail pada teman yang sedang menempuh studi disana hanya untuk sekedar cross-check namun sampai saat ini belum ada balasan). Saya ingat kembali cerita Om Jansen itu ketika saya berkesempatan mengikuti kegiatan untuk para guru yang telah disertifikasi. Saya seperti terlempar ke tahun 2015 dimana diharapkan semua guru telah disertifikasi. Sudah pasti semua guru sudah kaya. Peserta kegiatan ini adalah guru yang telah mengikuti sertifikasi dari kuota 2007 sampai seperti saya kuota 2009. Hanya kami yang kuota 2009 yang belum menerima tunjangan profesi. Dalam kegiatan tersebut kami banyak memperbincangkan tentang tunjangan profesi dari sertifikasi tersebut. " Bu Aini, rencana ke depan apa yang akan dilakukan dengan tunjangan tersebut ?" " Saya mau ambil Magister, Bu". Jawab saya. " Hanya itu ? Ibu masih muda, bisa jadi dua atau tiga tahun lagi Ibu juga diangkat sebagai PNS seperti kami ". " Rencana awal kuliah saja dulu, Bu. Saya tidak mau berandai-andai. Tapi kalau disuruh berandai-andai saya juga ingin beli mobil". Jawab saya bercanda. " Beli mobil justru keluar uang". Kata Ibu itu dengan cepat. " Lha Ibu menyuruh saya berandai-andai, sich. Ibu sendiri tunjangan itu untuk apa saja Bu? Ibu kuota 2007, kan ?" " Saya dengan suami dan anak saya patungan. Kami mendirikan pom bensin". " eemmm, usaha keluarga ya, Bu ?" " Ya, untunglah suami dan anak saya juga sudah sertifikasi". Saya tersentak dengan jawaban Ibu itu. " Berarti keluarga Ibu semua guru ?" Ibu itu mengangguk, mengiyakan. " Suami saya juga Guru TK, sudah PNS, dan sudah sertifikasi. Anak saya juga demikian". Ya, ini salah satu percakapan saya dengan guru yang telah disertifikasi sejak tahun 2007. Inilah yang kembali mengingatkan saya pada sosok Om Jansen yang akhirnya memilih jalan hidup sebagai pengusaha itu. Jiwa saya seorang pengusaha bukan pendidik, itu kata Om Jans. Saya tidak mau terlalu menyalahkan jika tunjangan profesi hasil dari sertifikasi juga digunakan untuk modal sebuah usaha namun alangkah lebih bijaknya kalau diutamakan untuk peningkatan kualitas Guru tersebut dan juga untuk mendukung pendidikan di lingkungan kita. Saya akui memang sangat berbeda kondisi dunia pendidikan di Indonesia dengan di Belanda. Negara kita kepulauan dengan jumlah siswa didik yang luar biasa banyak. Pemerintah sepertinya tidak mungkin memberikan opsi seperti Pemerintah Belanda. Namun setidaknya kita bisa sedikit berkaca dari pilihan hidup Om Jansen tersebut, sebenarnya apa yang kita cari dari sebuah profesi sebagai seorang pendidik?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H