Lihat ke Halaman Asli

A Night of Terror "in September"

Diperbarui: 4 September 2017   02:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Aku berjalan di sebuah lorong bawah tanah. Tampak jelas  sosok pria yang tengah kukejar justru dengan tenang melintas di  hadapanku. Entah apa yang sebenarnya ada di dalam pikirannya. Ia sama  sekali tak menghiraukan tindakanku yang mungkin saja dapat melukai, atau  bahkan membunuhnya.

Tiga buah lubang di dinding yang telah kubuat  sama sekali tak membuatnya gentar. Ia mendekat, bahkan semakin dekat  dengan jarak hanya setengah meter dari tempatku berdiri. Tatapannya  begitu teduh, namun penuh dengan ratusan pesan yang tersirat. Bibirnya  membiru, menandakan ia sedang kedinginan. Bajunya yang terlihat tipis  mungkin tak mampu menahan suhu rendah air conditioner di sepanjang  lorong. Aku tak boleh lengah. Bisa jadi ini merupakan sebuah tipu daya  untuk menurunkan kesiagaanku. Ya, bisa jadi.

"Marilyn." Panggilnya lirih.

Jantungku  berdegup lebih cepat. Panggilan nama itu membuat darahku berdesir.  Nafasku terasa sedikit sesak. Keringat dingin mulai bermunculan  membasahi roma yang semakin tegak. Tak kusangka pria itu mampu bertahan.  Padahal di dadanya sudah bersarang dua buah peluru tajam.

Namun,  langkahnya tampak berbeda. Ia terlihat gontai. Wajahnya juga semakin  pucat. Bibirnya mulai meneteskan darah, pertanda ada organ tubuh yang  mulai rusak. Aku tak bergeming. Seandainya saja nurani dan perasaanku  berada di atas segalanya, mungkin tembakan ini tidak akan pernah  terlepas. Sayang, aku bukanlah Marilyn yang dulu. Meskipun pada akhirnya  aku menyesal. Darah yang mengucur di dadanya membuatku tak nyaman.  Tanganku mulai bergetar.

Kurasakan sentuhan dingin tiba-tiba mendarat di bahuku. Aku terkejut. Pria itu sudah berada dalam jarak yang semakin dekat.

"Jangan kawatir, Mar! Aku tidak akan mati semudah itu."

Mataku  terbelalak tak percaya. Bagaimana mungkin ia bisa membaca  kegelisahanku. Apakah ini yang disebut dengan kelihaian musuh? Ataukah  ada hal lain yang membuatnya bisa mengetahui seluk beluk pikiranku?  Logikaku semakin rumit. Bukankah aku adalah orang yang paling pandai  dalam menyembunyikan emosi? Lalu kenapa masih saja terbaca semua hal  yang tak ingin kutampakkan, terutama pada dia, seorang teroris yang  ingin segera kutaklukkan.

"Kau teroris, jangan sok tahu!" Ujarku penuh amarah.

Bibirnya  tersenyum tipis. Benar-benar respon yang sangat mengejutkan. Ia  memandangiku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tatapannya seperti  pria jalang yang hendak menelanjangi. Tak lama, ia menghela nafasnya  dalam-dalam, seperti sedang menekan sebuah beban yang tak ingin  disampaikan. Aku menatapnya penuh pengertian. Entah sejak kapan aku  mulai memahami bahasa tubuhnya tanpa harus mendengarkan kata-kata.  Kuterima saja pikiran kotornya, atau malah aku yang sebenarnya  merindukan sebuah pelukan? Yang benar saja.

"Kau ini tidak berubah, Mar. Bagaimana bisa selama ini kamu bertahan sendiri tanpa disentuh oleh siapapun?" Ejeknya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline