Lihat ke Halaman Asli

Diskusi Halal Haram

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="attachment_208018" align="alignleft" width="300" caption="smbr gbr : http://matanews.com/wp-content/uploads/loho-halal.png"][/caption]

Obrolan tentang haram halal sepertinya masih menjadi topic yang menarik. Setiap kali MUI mengeluarkan produknya berupa fatwa haram halalnya sesuatu, selalu disusul dengan diskusi-diskusi ringan maupun berat dari teman-teman saya.

Saya sebenarnya punya perasaan senang dengan adanya diskusi-diskusi itu, paling tidak saya bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa teman-teman sudah “melek” hukum agama, mereka perhatian pada hal-hal yang berhubungan dengan fiqh. Bukankah menentang itu juga bisa dikategorikan sebagai bentuk perhatian?

Dari diskusi itu saya juga mampu mengambil banyak ilmu yang sebelumnya belum saya ketahui. Jadi, saya menghindari untuk memandang negatif segala bentuk perdebatan tentang sebuah fatwa, begitu juga saya malah senang kalau ada fatwa baru dari MUI. Kadang saya berharap agar MUI sering-sering aja bikin fatwa, dan kalau perlu fatwanya yang kontroversial. Sebab semakin “aneh” fatwa itu, semakin memancing teman-teman untuk memulai berdiskusi.

Saya pribadi belum pernah terkena secara langsung “dampak” dari beberapa fatwa yang dikeluarkan MUI atau “lembaga sejenis” akhir-akhir ini. Misalnya,rebonding haram itu sama sekali tidak ada pengaruhnya bagi saya, karena saya sendiri tidak pernah rebonding. Kopi luwak halal, mau haram atau halal saya tidak pernah mengkonsumsinya, mahal sih. Infotainment haram, itupun tidak begitu punya pengaruh bagi saya, karena saya hampir tidak pernah menonton infotaiment.

Itu jika saya egois memikirkan diri sendiri, namun saya ternyata tidak mampu untuk tidak memperhatikan fatwa-fatwa itu karena hal itu ternyata menjadi bahan pertanyaan beberapa orang, misalnya istri saya. Pada akhirnya saya tetap harus belajar juga tentang hal-hal itu.

Bagi saya, setiap hari kita ini berfatwa. Setiap akan melakukan sesuatu, setiap mengambil keputusan apapun itu yang didahului oleh pemikiran dan dan telaah logika dan perasaan, melalui pertimbangan akal dan segala macam unsur dalam diri yang kemudian menghasilkan sebuah keputusan, itu semua saya anggap sebagai “fatwa pribadi”

Saya memilih A sebagai istri, bukannya B, itu bisa saya terjemahkan bahwa saya berfatwa bahwa A lebih baik dibanding B. Saya kuliah di Universitas X, bukannya kuliah di Universitas Z, itupun bentuk dari upaya saya mempertimbangkan baik dan buruknya bagi saya.

Setiap keputusan selalu saja diambil dari sebuah proses pertimbangan yang matang, kematangannya tergantung dari “level ilmu” dan tingkatan pemahaman kita akan segala hal yang berhubungan dengan sesuatu yang akan diputuskan. Dan itu saya anggap sebagai fatwa.

Jika keputusan yang saya ambil nantinya masih belum sreg, maka saya membutuhkan pihak lain diluar diri saya untuk membantu saya memberikan pertimbangan. Tentu saja, saya tidak sembarangan menentukan pihak luar itu, saya harus benar-benar mempercayai tentang tingkat pengetahuan pihak luar itu tentang hal-hal yang akan saya mintai pertimbangannya. Dan lagi-lagi, saya membutuhkan “fatwa pribadi” untuk menentukan pihak mana yang akan saya pilih.

Ini menunjukkan bahwa fatwa sebenarnya sangat akrab disetiap langkah kita. Tentu saja jangan menyamakan arti fatwa MUI dengan “fatwa pribadi”. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa ada prinsip-prinsip dasar yang hampir sama atas kedua fatwa itu. Salah satunya adalah perlunya telaah dari segala macam sisi sebelum keputusan itu keluar, adanya berbagai macam perimbangan sebelum sebuah fatwa itu dikeluarkan.

Bahwa terlampau tidak hormatnya saya dan tidak sopannya jika memandang segala macam fatwa yang dikeluarkan oleh MUI dengan mata pandang negatif, sinis dan apatis. Bagaimanapun juga mereka yang ada dalam lembaga itu ilmu agamanya jauh di atas saya yang cuma mendapat ilmu agama dari jalanan ini. Beliau-beliau itu adalah ulama yang saya yakin memiliki dasar pertimbangan yang sangat matang secara fiqh dibanding jika yang mempertimbangkan adalah saya. Bahkan saya untuk mengomentari semua keputusan itu saja sering dihantui rasa takut.

Akan tetapi, saya masih memandang bahwa hukum agama dalah hal-hal yang sifatnya muamalah itu sifatnya kontekstual-dinamis. Keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh MUI atau lembaga fatwa apapun itu jangan dipandang secara kaku. Bukan berarti kita “main-main” dengan hukum agama. Apa yang saya maksud jangan dipandang secara kaku adalah bahwa ketentuan itu tidak begitu melekat secara “statis”.

Saya ambil contoh, air minum dalam kemasan itu dilabeli oleh MUI dengan label halal. Namun apakah itu mutlak halal? Label halal yang diberikan oleh MUI itu hanya dari satu dimensi saja, terbatas pada satu elemen saja, yaitu materi. Bahwa materi dalam air kemasan itu halal. Tapi apakah kehalalan sesuatu itu hanya dinilai dari materinya? Tidak bukan.

Kalau air kemasan itu saya dapatkan dari mencuri, sudah barang tentu itu jadi haram meskipun MUI memasang seribu label halal dalam kemasan itu. Jika saja air dalam kemasan itu ternyata saya beli dari seorang pencuri, yang berarti saya adalah penadah barang curian, apakah barang itu tetap halal atau haram? Tentu hal ini akan jadi perdebatan lanjutan. Artinya apa yang tercantum dalam kemasan itu tidak serta merta mutlak menjadi hukum yang statis untuk barang yang dilabeli.

Bagi saya (sengaja saya pertebal kata-kata itu), halal dan haramnya sesuatu itu ditentukan oleh banyaknya unsur dan berbagai macam kondisi dan pertimbangan lainnya. Kambing itu halal atau haram? Fatwanya pasti halal, namun tentu saja penuh dengan berbagai macam catatan dalam fatwa itu, seperti yang saya sebutkan diatas, bahwa hukum itu pada akhirnya bersifat kontekstual-dinamis.

Kodok diperdebatkan halal dan haramnya, namun jika saya disuatu daerah dimana saya kelaparan dan hanya ada daging kodok, tentu saja makan daging kodok ini bersifat halal bahkan mungkin saja bisa berubah jadi wajib, karena jika saya tidak makan maka saya akan mati misalnya. Babi sudah pasti akan di fatwa-i haram, namun misalnya anda dipenjara oleh musuh dan hanya diberi makan berupa daging babi, tentu saja keharaman babi itu bisa “berubah” hukumnya. Meskipun demikian, MUI tetap saja akan melabeli itu dengan label haram karena memang jika harus “dibukukan” dan ditulis secara undang-undang ala manusia memang harus seperti itu. Saya pribadi memahami kenapa MUI merasa harus melekatkan label-label itu.

Sekali lagi saya mohon, jangan berhenti berdiskusi tentang fatwa-fatwa itu. Saya pribadi sangat menyukainya, banyak ilmu yang bisa saya tarik dari dialog-dialog itu. Dan jika sudah kehabisan bahan untuk diperdebatkan, silahkan pesan fatwa ke MUI, agar ada bahan untuk kita diskusikan lagi. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline