Lihat ke Halaman Asli

Lazu

Games Addict

Permainan Politik

Diperbarui: 11 Oktober 2017   17:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya masih ingat, kelas yang diadakan siang hari itu berpindah tempat ke seberang dengan alasan klasik khas Surabaya ; panas. AC di kelas "seharusnya" mengalami sedikit kerusakan. Untungnya, tidak ada jadwal mata kuliah di kelas seberang. Secara aklamasi, kelas seberang itu akan menjadi kelas kami sampai penghujung semester.

Mata kuliah yang kami tempuh saat itu adalah Pancasila dan Kewarganegaraan, dengan dosen mantan calon legislatif daerah saya tinggal 8 tahun silam. Beberapa di antara kalian (saya yakin) pasti sedikit memiliki "pandangan buruk" tentang mantan calon legislatif. Bagi saya, asalkan bisa membuat suasana kelas nyaman, saya tidak peduli latar belakangnya.

Dan benar saja, memiliki dosen yang berlatar belakang mantan calon legislatif membuat cair kelas. 3 SKS pun tidak terasa, bahkan mungkin lebih. Topik yang dibahas adalah "Pancasila". Dan, ilustrasi atas topik pembahasan menjadi senjata utama dosen mantan calon legislatif ini.

Kami dibawa menuju kondisi Indonesia yang lalu, sekarang, dan masa depan. Dimulai dari sejarah lahirnya Pancasila, Gus Dur, kekuatan politik di setiap Pilpres maupun Pilkada, hingga prediksi Pilpres 2019 mendatang. Bahkan, pembahasan tidak melulu soal politik. Kita pun dijelaskan mengenai sistem haji dan latar belakang seorang menteri di pemerintahan saat ini.

Di akhir topik, ia membuka sesi tanya jawab untuk 3 orang, yang diisi oleh saya dan 2 kawan lainnya. Pertanyaan dari kawan saya sangat berbobot, mengenai orang biasa yang ingin berpolitik dan kisruh Pilkada DKI kemarin. Sialnya, dosen tersebut lebih memfokuskan pertanyaan mereka dibanding saya.

Di pertanyaan pertama, ia menjelaskan bagaimana fakta politik sekarang. Menurutnya, tips untuk menjadi politisi adalah "Berjuang", yang merupakan akronim dari beras, baju, dan uang. Selain itu, kedekatan dengan pihak partai sangat berpengaruh. Sebagai bukti, ia memberika ilustrasi salah satu calon legislatif 2014 yang menempati posisi 1 dalam urutan nama di partainya di dapil strategis Jawa Timur karena kedekatannya dengan ketua partainya.

Dari pembahasan yang melewati 3 sks itu, saya mendapat satu kesimpulan ; permainan politik.

Salah satu kawan sempat berceletuk pasca kekisruhan Pilkada DKI kemarin. Ia berkata, "Ilmu yang baik didapat dari tempat instansimu, ilmu yang menarik didapat dari musuhmu". Kita boleh memiliki lawan, tapi jangan sampai melupakan ilmu yang bisa diserap darinya. Tujuannya? Selain mendapat sumber dari kedua pihak, kamu akan lebih berhati-hati dalam melangkah.

Dari segala pembahasannya, ada beberapa poin yang tidak saya setujui. Begitupun dengan jawabannya atas pertanyaan mengenai Pilkada DKI. Kalau saya mau, saya bisa saja walk out ataupun membuat suasana diskusi menjadi panas. Namun, hal itu tidak saya lakukan.

Pengalaman menjadi "warganet yang terhibur" karena kekisruhan Pilkada DKI di timeline Twitter membuat saya sudah terbiasa dengan jawaban yang saya tidak harapkan. Ataupun, berdiskusi dengan orang yang mungkin bersebrangan secara pandangan politik. Hal itu membuat saya menjadi lebih siap untuk menerima informasi dari "lawan", dan membuat saya tidak begitu mendewakan apa yang saya dukung.

Di tengah pembahasan, dosen itu menjelaskan bagaimana seorang politisi yang kini sukses di dunia politik karena "permainan politik" ini. Politisi itu memahami betul situasi dan kondisi yang mendukungnya. Meskipun beberapa orang menyebutnya sebagai penjilat, ia tak peduli dan kini duduk nyaman dengan jabatan yang mentereng.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline