Lihat ke Halaman Asli

Ruginya Kumpul Kebo Syariah untuk Perempuan

Diperbarui: 23 Juni 2016   15:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa tahun belakangan ini saya menciptakan istilah untuk "nikah siri", yaitu "kumpul kebo syariah" (Jika ada yang merasa sudah menciptakan duluan, atau pernah mendengar istilah "kumpul kebo syariah" sebelumnya, silakan protes. Saya tidak punya hak paten untuk istilah ini). Istilah ini bisa jadi dianggap menghina Islam, karena biasanya pelaku kumpul kebo syariah ini berdalih kalau mereka sebenarnya adalah pasangan suami-istri di mata Allah, tetapi "pernikahan" yang mereka lakukan "secara agama" ini karena berbagai macam alasan tidak dicatatkan secara administrasi negara.

Karena tidak dicatatkan inilah maka saya menganggap kalau "nikah siri" ini sama saja dengan kumpul kebo, hidup bersama tanpa menikah. Pasangan kumpul kebo/nikah siri tidak mempunyai dokumen negara yang menyatakan mereka adalah suami istri. Secara hukum negara, tidak/belum ada pernikahan. Jika keduanya adalah lajang, maka status di KTP juga akan tetap lajang. Kalau berstatus duda/janda, status di KTP juga akan tetap duda/janda. Di KTP juga tidak akan tercantum:
Status pernikahan: Kawin siri.

Walaupun biasanya pasangan nikah siri dan para pendukungnya ngotot kalau pernikahan mereka "sah" secara agama, sehingga hubungan seksual yang mereka lakukan "halal", menghindari zina. (Kalau memang mau menghindari zina ya jangan kawin siri dong. secara hukum negara pelaku kawin siri tetap dianggap zina).

Dalihnya lagi, pada zaman Nabi SAW pernikahan sudah sah jika ada calon suami, calon istri, wali calon istri, penghulu, saksi, mas kawin, dan ijab kabul. Itu yang paling penting, dan biasanya membawa-bawa ayat AlQuran atau Hadis. Dalih ini membuat saya bertanya-tanya, apakah zaman Nabi SAW dulu sudah ada kantor catatan sipil?

Menurut saya, kerugian dari kumpul kebo syariah adalah: tidak adanya kekuatan hukum, yang menyebabkan:

1. Jika terjadi sesuatu pada kehidupan bersama mereka (oke, sebut saja pernikahan siri mereka), perempuan tidak punya kesempatan untuk menuntut secara hukum.

2. Jika pasangan laki-laki meninggal, pasangan perempuan dan anak-anaknya tidak berhak mendapatkan warisan. Termasuk tidak berhak atas pertanggungan asuransi jiwa (jumlahnya kadang cukup lumayan untuk membiayai hidup pasca ditinggal pasangan).
Anak dari pasangan yang tidak menikah tidak berhak mencantumkan nama ayah pada akte kelahirannya. Bayangkan bagaimana dampaknya pada anak di masa depan. Pasangan harus siap mental menghadapinya.

3. Pasangan lelaki, yang biasanya menjadi pihak yang lebih berkuasa atas pasangan perempuan, akan mudah saja meninggalkan pasangannya. Tinggal bilang "saya ceraikan kamu". Dan tidak ada lagi kewajibannya untuk menafkahi anak-anak hasil hubungan kumpul kebo syariah/nikah siri. Pasangan yang menikah dan bercerai resmi saja, banyak mantan suami yang tidak memberikan tunjangan pasca perceraian, tidak membagi harta gono gini secara adil. 

4. Pada umumnya perempuan yang bersedia "menikah siri" akan dipandang rendah oleh masyarakat.

Ngomong-ngomong, setahu saya hukum menikah ada 5: wajib, sunah, boleh, makruh, dan haram. Haram apabila pernikahan yang dilakukan bertujuan untuk menyakiti wanita yang dinikahi. Jika "pernikahan" yang dilakukan membuat perempuan dirugikan, jadi hukum menikahnya apa? makruh? haram?

Menurut saya, pelaku dan pendukung nikah siri adalah Muslim yang menghina Islam dan mencoreng nama baik Islam. Tindakan mereka melemahkan dan merendahkan posisi kaum perempuan dan anak-anak di masyarakat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline