Lihat ke Halaman Asli

Tentang 3in1: Perlindungan Anak VS Macet

Diperbarui: 11 April 2016   11:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demi melindungi anak, 3in1 dihapuskan.

Sudah menjadi rahasia umum kalau banyak joki 3in1 (biasanya perempuan) membawa anak bahkan bayi ketika mereka bertugas. Entah bagaimana isu ini baru didengar oleh pemerintah DKI pada tahun 2016.

Atas alasan inilah wacana penghapusan 3in1 mengemuka. Mulai tanggal 5 April 2016, pemerintah DKI melakukan uji coba penghapusan 3in1. Akibatnya, jumlah kendaraan pribadi di jam-jam sibuk bertambah, kabarnya hingga 3 x lipat. Waktu tempuh perjalanan pun bertambah. Saya misalnya, biasanya jika saya keluar kantor pukul 17.30, saya tiba di rumah sekitar pukul 19.00. Pada hari pertama penghapusan 3in1, saya tiba dirumah jam delapan malam lewat dikit. Untuk jalur yang biasa saya tempuh, terjadi peningkatan jumlah penumpang bus. Bus langganan saya yang biasanya agak kosong terlihat penuh sesak.

Di satu sisi, saya gembira bahwa pemerintah DKI memiliki kepedulian terhadap nasib anak. Di sisi lain, kemacetan yang semakin menjadi membuat saya sangat lelah.

Kalau pemerintah dahulu lebih peduli, sebenarnya sudah terlihat kalau 3in1 adalah kebijakan yang gagal. Kebijakan ini malah menimbulkan masalah baru, joki-joki 3in1 itu. Apakah ada diantara joki-joki itu yang berurbanisasi dari desa mereka demi menjadi joki, mengadu nasib di Jakarta (dengan cara yang tidak benar), mungkin juga kan?

Sayangnya pemerintah seakan menutup mata. Kenapa baru sekarang wacana penghapusan 3in1 demi perlindungan anak baru muncul? Memangnya para pejabat DKI itu TIDAK SATU PUN YANG PERNAH MELIHAT JOKI 3 IN 1 MEMANFAATKAN ANAK-ANAK demi mendapatkan simpati para pengemudi/penumpang kendaraan pribadi?

Kalau kita lihat sepintas saja, jelas terlihat bahwa kendaraan yang memenuhi jalan-jalan di Jakarta adalah kendaraan milik pribadi. Sedangkan jumlah kendaraan umum sedikit sekali, dan sebagian besar keadaannya sudah memprihatinkan. Bagaimana mungkin para OKL dan OKB yang biasa beradem ria di mobil mereka mau naik kendaraan umum yang kondisinya menyedihkan? Mendingan macet-macetan naik kendaraan pribadi.

Secara teori, pemecahan masalahnya terdengar mudah: menambah jumlah kendaraan umum. Namun tampaknya dalam rangka menambah kendaraan umum ini, entah kenapa dan bagaimana, bagi pemerintah DKI adalah hal yang amat sangat ribet sehingga bertahun-tahun masyarakat masih saja disiksa dengan kemacetan yang menggila.

Saya masih ingat, beberapa tahun yang lalu pernah membaca berita yang nara sumbernya adalah bapak pejabat Transjakarta. Beliau bilang bahwa jumlah bus Transjakarta koridor 9 sudah cukup. Kenyataannya, dari halte pertama saja bus sudah penuh, dan bertambah sesak pada halte-halte berikutnya. Dari berita ini saya bisa ambil beberapa kesimpulan kalau:
1) bapak ini tidak pernah cek kenyataan di lapangan,
2) bapak ini asal ngomong,
3) anak buah bapak ini memberikan laporan "asal bapak senang".

Untuk pemerintahan Jakarta yang sekarang, saya cukup mengapresiasi usaha pemerintah di bidang transportasi umum. Meskipun macet masih gila, setidaknya ada beberapa hal yang masih bisa saya hargai:
1) Setiap tahun ada penambahan bus-bus Transjakarta
2) Menambah rute baru Transjakarta (pinang ranti - Kota, PGC - Bundaran Senayan)

Semogaaaaaa....kendaraan umum di Jakarta makin banyak dan ERP bisa cepat diberlakukan.

Memang butuh usaha ekstra supaya para "orang kaya Jakarta" mau naik kendaraan umum.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline