Lihat ke Halaman Asli

Kekurangan Manajemen PAUD di Indonesia

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Manajemen pendidikan sebagai pendekatan pengembangan sumber daya menusia kompettif, sarana pembaruan social yang berkeadilan, serta pembaruan dunia pendidikan yang kontekstual, sangat penting bagi eksistensi lembaga pendidikan.

Menurut Sismanto (2007), ada tiga substansi dasar yang menjadi patologi pendidikan yang sampai saat ini yang belum juga teratasi. Pertama buruknya mutu pendidikan juga dapat dilihat dari hasil pengembangan sumber daya manusia yang dinyatakan dalam Human Development Index (HDI). Kedua, cerminan sikap atau watak manusia Indonesia yang masih belum menampakkan sikap yang menjunjung nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan rasa tanggung jawab. Ketiga yang paling parah adalah minimnya keterampilan yang dimiliki, sehingga kemandirian dalam hal ekonomi setelah menyelesaikan sebuah jenjang pendidikan kurang terwujud.

Ketiga hal itu merupakan sasaran utama yang harus diwujudkan dalam pembangunan pendidikan dalam perspektif makro. Kenyataanya, sejak Indonesia merdeka sampai saat ini pembangunan pendidikan secra makro belum terwujud secara optimal. Dalam konteks ini pembangunan pendidikan merupakan suatu prioritas yang harus dipikirkan dan direncanakan dengan formulasi yang tepat.

Mengelola pendidikan bukanlah sebuah tempat usaha barang, melainkan mengelola sumber daya manusia yang memiliki keunikan-keunikan masing-masing. Untuk itu dibutuhkan formula yang tepat dalam mengatur segala permasalahan manajemen Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Ada beberapa model penataan kelembagaan yang konvensional. KArena itu kita harus mencari model yang paling tepat agar PAUD bisa berkembang dengan baik. Model manajemen kelembagaan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1.Pengelolaan PAUD selama ini terlalu banyak seninya disbanding dengan ilmunya, sehingga gaya manajemen yang dilakukan lebih bersifat trial and error.

2.Penerapan manajemen “gotong-royong”. Artinya, semua orang melakukan semua pekerjaan. Tidak ada pembagian kerja yang tegas dan jelas.

3.Gaya manajemen tukang cukur. Yaitu, satu orangmelakukan semua pekerjaan, mulai dari membuka kios, menyapu, memotong rambut, menutup kios, dan mengelola keuangan sekaligus.

4.Penerapan manajemen “sungkanisme” yaitu, suatu manajemen yang tidak asertife. Budaya sungkan (segan) mengatur kesalahan teman dan budaya marah bila ditegur teman membuat organisasi berjalan tak tentu arah, sehingga tidak bisa mencapai tujuan yang dikehendaki.

Empat model manajemen tersebut banyak memilki kekurangan. Tidak ada aspek terstruktural, job description,koordinasi, evaluasi, dan proyeksi kedepan. Dalam konteks ini dibutuhkan model manajemen yang lebih dinamis, progresif, dan mempunyai unsure pemberdayaan dan penguatan. Disinilah pentingnya manajemen partisipatif yang mengedepankan kolektifitas, teamwork, solidaritas, kohesivitas, dan kualitas kinerja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline