Lappa launa masih mengesankan buat kami. Sebuah tempat padang rumput di dusun Waruwue,Labajang Tanete Riaja yang menjadi favorit para pencinta alam dari berbagai daerah di barru. Seingatku terakhir pasang tenda di tahun 2005. Beberapa kali lewat di lokasi ini namun tidak bermalam dan menikmati bintang-bintang di langitnya.
Kali ini kami berlima pun sepakat untuk merefres diri bermalam semalam di Lappa launa dan esoknya berencana ke air terjun di dusun Ampiri kecamatan Pujananting. Lokasi cukup berdekatan. Hujan sore hari tak menyurutkan langkah sembari berteduh kami pun menyiapkan rencana. Sepertinya hujan tak mau reda walau sudah rinai-rinai,kami pun sepakat menerobos hujan.
Petang pun berakhir ketika kami sampai di perbatasan Barru-Soppeng,belok kanan menuju Waruwue menepobos malam yang mulai gulita.Jalanan aspal yang mulai mengelupas menyulitkan perjalanan kami. Jalanan licin dengan genangan air membuat nyaris terjatuh.
Ternyata jalan paling parah ketika menuju Labajang Lappa launa. Jalan pendakian dengan tanah becek. Grip ban motor kami kesulitan melewati jalan tanah becek.Terjatuh dan hampir nyaris terjatuh beberapa kali. Dengan susah payah dan perjuangan ekstra kami pun sampailah di padang rumput ini.
Beruntung malam ini ramai berhubung rombongan mobil offroad dari makassar menggelar acara tersendiri.Mereka memasang tenda dengan mengatur mobil mereka membentuk lingkaran.
Kami pun memasang tenda agak menjauh di atas bukit. Memasak nasi campur mie instant plus ikan bakar kering. Mantap mana lagi kopinya.Dan jadilah malam itu kami menikmati cuaca malam dan bintang pun masih malu menampakkan dirinya. Dikejauhan sana kota Barru dengan nampak dengan kilauan lampu. Lappa launa adalah hamparan padang rumput tempat yang recomended buat camping tanpa menguras banyak energi karena bisa dijangkau kendaraan. Lebih mudah ketika kemarau cuma sumber airnya kering. Besoknya fose wajib menunggu sunrise. Mengabadikan berbagai latar demi sebuah pembuktian bahwa alam pun di patut ekspos.
Puas mengabadikan berbagai moment dan fose kami pun kembali ke tenda memasak mie dan membakar ikan kering di balik batu besar mengandalkan ranting-ranting kayu lembab pengaruh hujan kemarin. Aromanya pun menyengat harum bangkitkan selera makan. Hawa yang dingin membuat kami pun lahap. Mobil offroad itu di bawah bukit sana tampaknya berkemas dan mereka pun mengabadikan mobilnya dan di atur setengah lingkaran. Mereka bergantian mengabadikan moment itu.
Tak lama kami membongkar tenda dan pagi itu menuju air terjun. Untuk sampai ke sana kami harus berjuang kembali melewati jalanan tanah nan becek. Ada sekitar 2 kiloan dari Lappa launa menuju dusun Ampiri. Di sekitar ini juga tapal batas kecamatan Tanete Riaja dan kecamatan Pujananting. Lama berkutat pada jalanan becek akhirnya jalanan beraspal terkelupas pun kami dapatkan. Mencari penduduk untuk bertanya lokasi air terjun ini. Seorang pemuda mahasiswa berkenan mengantar kami sampai pada jalanan tani yang letaknya di atas pemukiman penduduk.
Sang mahasiswa tadi mohon maaf tak bisa mengantar karena ada pekerjaan yang harus dilakukannya. Ok,terima kasih. Kami menyusuri jalanan tanah sesuai petunjuknya. Melalui sawah kemudian penurunan pada lembah bukit yang kebetulan penduduk sedang panen kacang tanah. Mereka pun senang hati memberi petunjuk.Lereng bukit digarap penduduk sebab air yang mengalir dari dua air air terjun. Yang sebelah kiri orang sana menamakannya wae luttue dan yang satunya menurut kami wae bebbe'e karena mengalir merembes namun kelihatan besar dari tempat kami berdiri.
Kali ini kami memilih dulu air terjun sebelah kiri. Kami harus mendaki bukit tempat tebing-tebing batu air terjun ini. Cukup melelahkan dalam kondisi terik tak ayal air sungai kecil kami minum. Abaikan dulu kriteria air bersih. Tubuh perlu cairan dan pencinta alam harus begitu,mengandalkan alam tuk hidup. Airnya tampak jernih dan segar mengalir di sela bebatuan berlumut. Gemericiknya itu biking tenang. Merendamkan kaki di air membuat rasa letih berkurang menambah semangat.
Area tanaman penduduk pun kami lewati mengikuti selang air dan memasuki pepohonan lebat nan lembab. Lama merintis jalan menebas sulur dan memang tampaknya belum ada jalanan meyakinkan. Maklum saja hanya beberapa orang yang pernah kesini. Para penduduk pun lebih pilih bercocok tanam ketimbang mencari objek wisata.Wajar kalau bebera kali kami harus turun naik mencari jalanan yang tepat. Beberapa tanaman perdu berduri menggores kulit kami. Sialnya sandal gunung saya putus tengah jalan. Terpaksa menggunakan kulit asli alias telanjang kaki menjejaki rimba.
Sepertinya ini rimba mirip pada cerita anak perawan di sarang penyamun. Sinar mentari terhalang pepohonan.Lelah dengan putar-putar mengandalkan insting suara gemuruh pun terdengar. Kami pun tinggal mengikuti suara itu.