Orang-orang Tionghoa yang ada di Indonesia tergolong sudah sangat lama. Mereka tidak menjadikan Indonesia sebagai tempat tinggal utama, namun karena terdorong oleh faktor lingkungan yang ada maka mau tidak mau memilih Indonesia sebagai tempat tinggal. Setelah mereka masuk dan menetap untuk sementara di Indonesia, beberapa tahun sekali pulang kenegaranya untuk menengok famili. Kemudian semakin lama mereka semakin jarang kembali pulang ke Negara asal.
Hanya kala dahulu jenazah orang Tionghoa yang meninggal di Indonesia dibawa pulang ke tinghoa. Namun kebiasaan tersebut sekarang tidak lagi terlaksana, sebab besarnya ongkos dan terbuka lebarnya peluang bertahan hidup yang lebih besar di Indonesia. Hal ini membuat mereka betah dan menjadikan Indonesia sebagi tempat tinggal utama. Sebab perbedaan inipun maka terbagilah orang-orang Tionghoa dalam berbagai golongan waktu.
Golongan Tionghoa Totok merupakan gugusan pertama yang datang ke Indonesia. Mereka merupakan orang yang tidak menjadikan Indonesia sebagi tempat tinggal utamanya, sebab mereka sering bolak-balik ke Negara asal. Golongan kedua ialah Tionghoa Peranakan, yang tidak lagi begitu akrab dengan Tiongkok tetapi Indonesia. Golongan ini minimal berketurunan dua di Indonesia dan sudah menyatu pun berbaur dengan budaya lokal. Sehingga kemudian secara perlahan mereka sudah dinamakan orang Indonesia, walaupun unsur Tionghoa masih tetap ada yang berupa meja tempat peletakan abu sisa pembakaran jenazah.
Dalam perjalanan dari tionghoa ke Indonesia pastilah ada beberapa dari mereka yang membawa buku bacaan. Inilah yang menjadi tumbuhnya sastera Tinghoa di Indonesia. Akan tetapi dengan pengaruh budaya Indonesia yang lebih besar dan kuat pada saat itu, maka jarang sekali orang Tionghoa berkecimpung dalam dunia sastera.
Mereka lebih memilih berdagang karena lebih bisa mempertahankan hidup mereka di negri orang. Walaupun demikian pasti ada beberapa orang atau golongan yang memperhatikan sisi sastera terutama pada masa Tionghoa peranakan. Sastera Indonesia – Tinghoa tersebut timbul dari hasil kerja penduduk tinghoa yang disebut sebagai tinghoa peranakan. Mereka berperan sebagai pembuat dan juga penikmat karya satera Indonesia - Tionghoa sendiri.
Pada saat itu orang orang Tionghoa peranakan tidak bisa mengenakan bahasa melayu yang selayaknya, juga bahasa Tiongkok.Hal ini disebabkan karena mereka sudah tidak lagi dekat demgan kebudayaan Tiongkok. Tidak pernah pulang ke Tiongkok tentu menjadi alasan mereka untuk tidak bisa bahasa Cina. Ketertarikan mereka terhadap dunia sastera menuju pada tema cerita Tiongkok. Ada beberapa faktor yang mendukung mereka memilih hal ini, pertama karena di Djakarta waktu itu kerap kali diadakan pertunjukan wayang bertema pendekar-pendekar rakyat Tiongkok.
Kedua, mereka juga sering melihat dipinggir jalan di Djakarta terdapat kelompok yang sering membacakan cerita-cerita Tiongkok menggunakan irama dan beberapa alat musik sebagai pelantun. Bahasa yang digunakan dalam sastera Indonesia-Tionghoa ini ialah bahasa melayu rendah, karena pengetahuan bahasa orang Tionghoa peranakan masih sangat rendah.Bahasa melayu rendah pun sebenarnya muncul karena pola dan tingkah laku masyarakat yang membuat bahasa tersebut menjadi bahasa sehari-hari.
Setelah munculnya beberapa sekolah Tionghoa di Indonesia baru-lah mereka mulai memperbaiki bahasa yang dipelopori oleh Lie Kim Hok. Beliau berguru kepada seorang pensiunan asal Belanda. Seorang sasterawan Tionghoa pada waktu itu sangat jarang ditemui karena dirinya dapat muncul atas dasar talenta. Lalu mereka yang tidak punya kemampuan alami masih belum bisa belajar sastera sehingga profesi ini sangat jarang. Tetapi angka kejarangan itu semakin menipis semenjak adanya sekolah-sekolah Tionghoa.
Berikut nama-nama dan pola perkembangan sastera Tionghoa:
- Lie Kim Hokmerupakan tokoh tunggal dalam perjalanan sastera peranakan pada abad delapan belas hingga 1915
- Setelah kepergian Lie Kim Hok, muncul para sasterawan baru yang terinspirasi oleh sang Guru dalam pembuatan karya pada tahun 1915-1925.
- Era itu telah berlalu dan para sasterawan sudah mulai bisa menikmati karya-karya mereka yang nantinya tercetak di buku-buku. Dampaknya adalah timbul banyak penulis muda yang lahir tahun 1925-1941.
Dalam karya-karya sastera tersebut dapat kita temui ilustrasi kehidupan masyarakat kala itu. Hermeunitika ini akan memberi gambaran pola hidup masyarakat serta tanggapannya terhadap karya sastera peranakan. Masyarakat Tionghoa sendiri pada abad 19-20, memiliki kehidupan yang suram terlihat dari karya sastera mereka. Maka dari itu karya sastera yang dibuat sesungguhnya berfungsi sebagai pembangkit semangat masyarakat Tionghoa.
Sastera peranakan tidak-lah berpengaruh kepada kehidupan orang-orang Eropa. Hanya saja mereka lebih sering berbincang dengan sasterawan Indonesia untuk konsultasi perkara penyusunan huruf. Sehingga secara tidak langsung argumen itu berbicara bahwa sasterawan Indonesia pun menjadi inspirasi bagi sasterawan peranakan waktu itu.