Bagi penggemar film berlatar sejarah, mungkin sudah tidak asing lagi dengan film berjudul berjudul Sultan Agung Mataram 1628, atau dikenal pula dengan judul Sultan Agung: Tahta, Perjuangan dan Cinta. Film garapan Hanung Bramantyo dan dirilis bulan Agustus 2018 lalu ini diisi oleh nama-nama aktor dan aktris terkenal di Indonesia, seperti Ario Bayu yang memerankan Sultan Agung, Adinia Wirasti sebagai Lembayung, Putri Marino sebagai Lembayung Muda, Anindya Kusuma Putri sebagai Ratu Batang, dan lain sebagainya.
Namun, tentu film ini tidak hanya menonjolkan pemain-pemain dan latarnya saja, meskipun kedua hal tersebut semakin menjadikan film ini menarik untuk ditonton. Film ini juga memiliki latar cerita yang cukup unik, yakni masa kepemimpinan Sultan Agung di Mataram. Sebagai orang yang cukup senang dengan cerita-cerita dalam sejarah Indonesia, tentu saya sendiri sejak awal menanti-menantikan film Sultan Agung Mataram 1628, yang tanggal rilisnya kebetulan berdekatan dengan HUT RI ke-76 lalu.
Sesuai dengan judulnya, film ini menceritakan tentang raja ketiga dari Kesultanan Mataram yang memimpin dari tahun 1613 hingga 1646, yaitu Sultan Agung Hanyakrakusuma. Bagi sebagian orang, label "film sejarah" mungkin bukan sesuatu yang begitu menarik, karena biasanya film-film seperti ini ditargetkan pada demografi yang cukup spesifik. Namun, film Sultan Agung Mataram 1628 mampu mengemas jalan cerita yang dibawakan agar tidak terlalu berat atau membosankan, meski tetap berbobot. Pada intinya, film ini mengisahkan bagaimana Sultan Agung Hanyakrakusuma memimpin Kesultanan Mataram di tengah keterlibatan VOC (Belanda) di wilayah kerajaannya.
Penonton dapat melihat bagaimana peran Sultan Agung mengambil keputusan-keputusan yang dianggap terbaik dalam menghadapi pergolakan yang terjadi di wilayah Mataram, hubungannya dengan pihak eksternal seperti VOC, dan juga bagaimana beliau mengatasi masalah internal kerajaan sendiri.
Meskipun demikian, cerita juga tetap difokuskan pada pribadi "Sultan Agung" sendiri -- atau Raden Mas Santang. Memegang tanggung jawab sebagai pemimpin kerajaan tentu bukan hal yang mudah bagi siapa pun, termasuk beliau. Kisah percintaan Sultan Agung, seperti bagaimana beliau harus merelakan Lembayung -- gadis yang ia cintai -- untuk menikah dengan Ratu Batang, memberikan "bumbu" tersendiri ke dalam keseluruhan jalan cerita dari film ini.
Tetapi, penggambaran karakter Sultan Agung sebagai seorang pemimpin yang sebenarnya pun tetap dilakukan dengan baik. Dalam film ini, kita melihat proses Sultan Agung yang beranjak dewasa, menaiki takhta, dan mengurus berbagai hal yang berkaitan dengan pemerintahannya. Salah satu aspek yang paling penting tentunya adalah aspek politik.
Semasa pemerintahan Sultan Agung, Kesultanan Mataram telah bersikap cukup terbuka dengan bangsa asing. Mereka banyak melakukan praktik diplomasi dan berbagai kegiatan kerja sama, utamanya dalam hal perdagangan. Salah satu pihak yang berusaha menjalin hubungan kerja sama dengan Kesultanan Mataram ialah serikat dagang VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) yang berasal dari Belanda. Diceritakan bahwa pihak VOC datang untuk menghadap Sultan Agung dan menawarkan perjanjian kerja sama perdagangan.
Paman dari Sultan Agung sebenarnya cukup mendukung diadakannya kerja sama ini, namun Sultan Agung sendiri memiliki pikiran lain. Beliau telah melihat bagaimana VOC memasuki wilayah-wilayah lain di Nusantara, seperti Jayakarta atau Batavia misalnya. Mereka memang datang dengan cara yang baik, namun selanjutnya mereka akan melakukan berbagai cara untuk menguasai perekonomian dan kemudian pemerintahan di wilayah tersebut, mengambil keuntungan sebesar-besarnya dan mengacaukan stabilitas pemerintahan.
Pada intinya, Sultan Agung melihat maksud tersembunyi di balik penawaran kerja sama tersebut, yaitu keinginan Belanda untuk mengambil manfaat dari wilayah Mataram. Kendati demikian, Sultan Agung tidak langsung menjawab penawaran tersebut dengan penolakan -- sebaliknya, beliau menyikapinya dengan baik, namun dengan tetap mempertahankan posisi Mataram di depan para perwakilan VOC. Beliau menyatakan bahwa Kesultanan Mataram bersedia bekerja sama dengan mereka, dengan syarat pihak VOC harus membayar pajak 60% dari setiap transaksi yang mereka lakukan.
Dengan sikap seperti ini, Sultan Agung secara implisit menyatakan bahwa Mataram menolak untuk dimanfaatkan oleh Belanda, dan bahwa mereka sebenarnya tahu apa yang menjadi maksud tersembunyi dari tawaran ini. Jawaban yang diberikan Sultan Agung bersifat sopan, namun tegas.