[caption caption="Kereta api Argo Wilis di Stasiun Cirahayu. (sumber dokumentasi pribadi) "][/caption]
Naik kereta api, tut tut tut! Siapa hendak turut? Ke Bandung, Surabaya, bolehlah naik dengan percuma. Ayo, kawanku, lekas naik! Keretaku tak berhenti lama...
Siapa yang tidak mengenal lagu anak-anak tersebut? Tentu semua orang Indonesia tahu. Lagu yang seakan ingin mengajak kita untuk naik kereta api.
Lalu, apa kira-kira alasan yang tepat untuk naik kereta api? Menurut saya, salah satunya adalah tentunya untuk duduk manis di dalam kereta, diantarkan dari satu tempat ke tempat lain, sambil menikmati indahnya pemandangan di sepanjang perjalanan. Apalagi kalau duduk di kereta paling belakang (bukan gerbong, karena istilah gerbong itu untuk angkutan barang), dan bisa melihat liukan lokomotif dan rangkaian kereta yang saling tersambung. Bukan berarti jalan-jalan dengan moda transportasi lain kita tidak bisa menikmati pemandangan yang indah. Naik pesawat, bisa menikmati hamparan awan putih, bahkan berkesempatan melihat pesawat lainnya yang sedang terbang di wilayah udara yang sama, entah tujuannya sama atau berbeda. Naik kapal laut, bisa menikmati biru dan tenangnya laut. Naik moda transportasi darat lainnya (bus, kendaraan pribadi, dll.), juga bisa menikmati pemandangan di sekitar, entah itu persawahan yang membentang di kiri-kanan jalan, pepohonan seperti yang digambarkan dalam lagu anak-anak "Naik-Naik Ke Puncak Gunung", atau bahkan rumah-rumah dan gedung-gedung yang berdempetan satu sama lain, kalau sedang melintas di tengah kota.
Tapi, bagi saya pribadi, jauh lebih menikmati bepergian naik kereta api dibandingkan moda transportasi lainnya. Mungkin juga dipengaruhi pengalaman masa kecil, sering bepergian Bandung-Jakarta bolak-balik naik dua kereta yang kini tinggallah kenangan: Argo Gede dan Parahyangan (per 27 April 2010 "dilebur" menjadi Argo Parahyangan). Ujung-ujungnya, saya pun menjadi seorang pecinta (atau penggemar, mana yang lebih tepat?) kereta api (railfans).
"Jalur Kereta Api Priangan, Eksotis Juga Rawan Bencana". Mengapa saya tiba-tiba ingin menulis artikel dengan judul tersebut? Minggu (13/03) pagi yang lalu orang tua saya sedang menyaksikan berita di Kompas TV; salah satu topik yang diberitakan adalah mengenai kejadian tanah longsor di sejumlah tempat. Hal yang menarik perhatian saya adalah ketika sang pembaca berita menyampaikan bahwa telah terjadi longsor di jalur kereta api di daerah Ciamis, tepatnya di petak jalur antara Stasiun Ciamis dengan Stasiun Bojong pada hari Sabtu, 12 Maret 2016 yang lalu. Akibat dari tergerusnya tanah di bawah rel sepanjang kurang lebih 30 meter (menurut info yang dirilis lewat akun Twitter @KAI121), sebanyak 8 perjalanan kereta api yang melintasi jalur Bandung-Banjar harus dialihkan lewat jalur utara (Cikampek-Cirebon, kemudian belok ke arah Purwokerto) pada tanggal 12 Maret, dan keesokan harinya sejumlah perjalanan KA pada jalur tersebut mengalami keterlambatan walau tidak perlu dialihkan ke utara.
[caption caption="Longsor di rel kereta api petak Ciamis-Bojong, 12 Maret 2016 (sumber foto: screenshot berita Kompas Pagi)"]
[/caption]
Melihat dari sejarahnya, Priangan merupakan sebuah karesidenan pada era kolonial dahulu, yang bila disetarakan dengan pembagian administratif daerah Jawa Barat sekarang ini, mencakup wilayah kota dan kabupaten (dari barat ke timur) Cianjur, area Bandung Raya (Kab. Bandung Barat, Kota Cimahi, Kota Bandung, Kab. Bandung), Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, dan Pangandaran. Koreksi saya bila ternyata salah, karena dari hasil penelusuran di internet, ada juga yang memasukkan wilayah Bogor dan Sukabumi ke dalam wilayah Priangan, juga ada yang tidak memasukkan wilayah Ciamis dan Pangandaran. Priangan dikenal dengan kenampakan alam daratannya yang beragam, mulai dari dataran rendah, perbukitan, hingga pegunungan. Keindahan alam Priangan salah satunya dapat dinikmati dengan cara naik kereta api melewati jalur antara Bandung dengan Banjar atau sebaliknya.
Jalur kereta api yang masuk dalam Daerah Operasi (DAOP) II Bandung tersebut dikenal sebagai jalur kereta api yang paling eksotis. Naik turun gunung, meliuk ke kiri dan ke kanan mengikuti kontur dinding tebing, meniti jembatan yang membentang di atas sungai, hingga jalur yang membelah area persawahan. Salah satu spot di jalur KA Bandung-Banjar yang terkenal di kalangan para pecinta kereta api (railfans) adalah Stasiun Lebakjero. Meskipun tergolong susah diakses (letaknya hampir 1 km dari jalan raya Nagreg-Garut, dan hanya dihubungkan dengan jalan kecil yang melintasi rumah-rumah warga), tapi keindahan panorama alam disekitarnya, ditambah bentuk jalur kereta api yang menyerupai huruf S, membuat banyak orang (khususnya para railfans) berdatangan ke stasiun tersebut hanya untuk mengabadikan momen ketika sang ular besi meliuk melintasi Stasiun Lebakjero, dengan latar belakang pegunungan dan juga kebun para warga yang berada di sekeliling stasiun.
Bahkan ada juga yang sampai bermalam di sana, dikarenakan mayoritas kereta api jarak jauh melintas di stasiun ini pada waktu subuh sampai dengan sekitar jam 9 pagi. Selebihnya, hanya ada KA Serayu yang melintas di siang hari, menyusul KA Kutojaya Selatan dari Kutoarjo dan KA Lodaya Pagi dari Solo; sisanya baru akan melintas setelah langit (mulai) gelap. Saya sendiri belum berkesempatan menyambangi "spot sejuta umat" itu dikarenakan kendala mengatur waktu dan jarak tempuh menuju TKP, sehingga untuk artikel ini "terpaksa" harus meminjam foto dari blog seorang railfan yang sudah pernah ke sana. Menurut saya, tidak cukup menggambarkan keindahan panorama Lebakjero hanya dengan kata-kata, sehingga harus dilengkapi dengan foto.
[caption caption="KA Turangga di Stasiun Lebakjero (sumber foto: Ricky Rianto)"]
[/caption]