Lihat ke Halaman Asli

Jalan Terjal Bapak Pembangunan Meraih Gelar Pahlawan

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada nostalgia yang selalu membuat orang rindu akan stabilitas yang dibangunnya dulu, manakala demokrasi menimbulkan riak-riak ketidakpastian: munculnya raja-raja kecil di daerah, kebebasan berekspresi yang berisik, dan para oportunis mendominasi panggung-panggung kekuasaan. Dan sikapnya yang tak pernah beringsut dari doktrin NKRI dan tidak toleran terhadap aspirasi daerah itu sekonyong-konyong jadi alternatif ketika separatisme mulai menjalar di beberapa wilayah di Indonesia. Tiga puluh dua tahun lebih berkuasa, Soeharto tentu saja mempunyai banyak kesempatan untuk berbuat baik maupun buruk. Ia melakukannya silih berganti. Namun ada proses yang seakan terus-menerus berlangsung di masa pemerintahan, yaitu sentralisasi, bahkan kemudian personalisasi, dengan sosok Soeharto sebagai inti pusat seluruh negeri. Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah seorang jenderal yang tidak biasa memberikan perhatian banyak terhadap politik luar negeri. Sebagai presiden, politik luar negeri-nya tidak dijiwai oleh visi hebat tentang peran Indonesia dalam politik dunia. Dibandingkan dengan presiden Soekarno yang melaksanakan ‘politik mercusuar’ dan bercita-cita menjadi seorang ‘Pemimpin Besar’ di panggung dunia, pendekatan Soeharto hanya memperoleh manfaat konkret bagi negaranya. Politik luar negeri Indonesia pada masa Soeharto sangat berkait dengan kepentingan dalam negeri. Pada akhir masa Orde Lama ekonomi Indonesia sudah rusak sama sekali. Presiden Soekarno lebih suka berkonfrontasi dengan negara-negara Barat yang disebut ‘nekolim’, sedangkan masalah ekonomi dalam negeri dibiarkan saja. Sebaliknya, Soeharto mendekati negara-negara Barat dan Jepang untuk mencari bantuan ekonomi dan menarik perhatian penanam modal asing. Dengan demikian, politik luar negeri memberikan sumbangan yang sangat besar kepada proses pembangunan ekonomi yang membawa manfaat mendalam bagi bangsa Indonesia—walaupun tidak semua golongan dalam masyarakat dapat menikmatinya. Pembangunan ekonomi juga menopang stabilitas politik, sehigga Orde Baru dapat bertahan selama lebih dari 30 tahun. Soeharto, sebagai presiden, juga memanfaatkan pembangunan ekonomi untuk ‘membeli’ dukungan para elit politik. Sudah tentu yang mendapat keuntungan yang paling besar adalah anggota keluarganya, para kroni-nya, dan perwira-perwira militer yang dekat dengannya. Walaupun Indonesia tetap menjunjung tinggi ‘politik bebas aktif’ yang dicanangkan oleh Wakil Presiden Hatta pada masa revolusi, pada praktiknya negara ini tidak lagi berdiri di tengah antara kubu Barat dan kubu Timur, tetapi sangat condong ke arah Barat. Hubungan erat dengan negara kapitalis Barat dan Jepang paling jelas dapat dilihat dalam bidang ekonomi dan menjadi sumber bantuan ekonomi dan perusahaan asing menguasai sektor modern. Dengan ‘peninggalan’ Soeharto yang ditinggalkan kepada kita, segala kesuksesan ekonomi dan pembangunan, sejarah politik kelam yang tidak kunjung selesai—seperti peristiwa Tanjung Priok, Malari, Kedung Ombo, peristiwa konflik Aceh dan Papua, Tragedi ’65 (Partai Komunis Indonesia), peristiwa penculikan 1998, dan lain sebagainya—dan semua peristiwa yang mengikuti Soeharto, pantas atau tidak pantas-kah kita beri predikat ‘pahlawan’ kepada bapak yang satu itu? Masyarakat Indonesia, kalianlah yang menentukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline