Lihat ke Halaman Asli

Sirik adalah Manusiawi (Tentang Ayi dan Nana - Bagian 1)

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Jam setengah tujuh. Jendelalupa ditutup. Pantas tadi malam dingin maksimum.

Sel! Bangun woy! Alarm lo berisik!!” Itu suara Nana, penghuni kamar depan.

Hampir begitu setiap hari. Alarm telfon genggam milik saya membangunkan kamar depan atau kamar sebelah, lalu penghuninya akan menggedor pintu kamar saya dan voila, saya terbangun. Mekanisme ini sudah berjalan hamper dua tahun dan kedua tetangga kamar kos saya tidak pernah protes. Penghuni kamar depan bernama Nana. Penghuni kamar samping bernama Ayi. Keduanyaberusia dua tahun di atas saya.

Sel, gw make kamar mandi duluan ya, jangan salahin kalo lama. Lo ga kuliah pagi kan? Sama gw mau ngambil charger nokia gw , ya Sel. Sel? Woy Sel! Lo udah bangun belum sih? ” suara Nana yang sedikit cempreng dengan tekanan konsisten di suku pertama nama saya akhirnya membuat saya terbangun dan duduk terjaga.

Saya membuka pintu malas-malasan. “Ga ada di gw chargernya Na, kemaren diambil Ayi.”

Kemaren? Lo ketemu dia di mana kemaren? Seinget gw dia ga di kosan deh dari siang. Pagi gw juga ga ketemu dia.”

Hmmm bukan kemaren juga sih. Beberapa hari yang lalu gw lupa tapi hari apa. Gw juga ga ketemu dia sih kemaren.”

HmmmOK. Gw mandi duluan ya.”

Oce..”

Mandinya Nana itu sama dengan nonton KISS – Kisah Seputar Selebritis, emmmuaaaaaah, lengkap dengan dua jari di bibir yang dilempar ke udara, dari awal sampai akhir. Sambil menunggu giliran mandi, saya memutuskan untuk memasak mi rebus dengan dua telor, lalu makansambil ngemper di lorong depan kamar sambil ngeliatin awan. Nglorong.

Kosan saya ini letaknya agak di pinggir kota. Bagian belakangnya masih berupa sawah. Saya menempati kamar di lantai dua. Di lantai dua ini hanya ada empat kamar dan satu kamar mandi dengan bak tanpa air panas. Lorong lantai ini mengarah ke balkon yang juga berfungsi sebagai tempat menjemur pakaian dengan pemandangan sawah. Saya, Nana dan Ayi sering duduk duduk di mulut lorong untuk sekedar ngobrol atau kadang-kadang memasak dengan menggunakan kompor portable nya Nana. Aktifitas ini kami sebut nglorong.

Walau ada empat kamar di lantai dua, tapi penghuninya hanya kami bertiga. Satu kamar lagi kosong sejak awal saya masuk ke kosan ini. Karena dari seluruh anak kos ini hanya kami bertiga yang kuliah di universitas yang sama, maka ritem aktifitas kami hampir mirip. Ketika anak-anak kos lain sibuk UTS atau UAS, kami masih bisa nglorong sampai tengah malam sambil makan Indomie. Sebaliknya, ketika anak kos lain sudah sibuk berlibur atau pulang ke kota asal karena sudah masuk libur semester, kami masih betah begadang di kosan belajar untuk UAS.

Walaupun demikian keadaannya, sedekat-dekatnya hubungan kami ya hanya sekedar teman kos saja. Untuk masalah pribadi, rasa-rasanya kami bertiga tidak terlalu dekat. Hanya sekedar tahu nama lengkap, nomor telpon seluler, asal daerah, kuliah di jurusan apa dan lahir tahun berapa. Sisanya saya sih tidak begitu peduli, macam siapa laki-laki yang main ke kamar mereka, siapa yang suka menjemput naik motor, siapa yang sedang mereka taksir.Walau kalau ditanya mereka pasti menjawab, saya enggan mencari tahu. Selain merasa itu bukan urusan saya, saya juga tidak mau memiliki hutang budi untuk balas bercerita tentang hal-hal pribadi saya. Kalau mengobrol, kami lebih sering membicarakan orang-orang terkenal, berita di tivi, majalah, atau gosip sekitar anak kos.

Secara keseluruhan, Nana dan Ayi cukup asik. Dari mereka saya belajar cara belanja, cara memasak, cara merajut, cara dugem, cara ciuman dan cara memalsukan nilai di situ akademik jurusan. Terdengar nakal, tapi percayalah saya cuma sekedar jadi tahu caranya. Soal praktiknya saya masih belum punya nyali untuk itu. Kamus permusikan saya juga jadi bertambah luas. Saya diperkenalkan dengan aliran aliran musik dan group band maupun penyanyi yang tidak pernah saya dengar sebelumnya. Kalau kata teman saya, musik-musik itu aliran tidak jelas karena tidak ada di daftar lagu Inul Visata atau Nav, tapi menurut saya keren.

Saya melirik jam di telfon seluler saya. Sudah sepuluh menit berlalu, tapi suaraair dari kamar mandi belum terdengar. Mungkin Nana sedang buang air besar. Ini sudah tahun kedua saya tinggal di kosan ini. Sebentar lagi Nana dan Ayi selesai kuliah. Berarti sebentar lagi akan ada penghuni baru yang akan menggantikan mereka. Akan seperti apa ya rasanya. Nana dan Ayi itu panutan yang menyenangkan. Panutan dalam tanda kutip.

Nana mungkin adalah cerminan mahasiswa ideal. Wajahnya cantik. Kulitnya bersih dan mulus. Badannya ideal, tidak terlalu gemuk, tidak terlalu kurus. Semua baju yang sedang popular di majalah fashion selalu pas jatuh di tubuhnya. Sepertinya sih Nana tidak pintar-pintar amat. Tapai kalau pekan UTS tiba, teman-temannya pasti datang menginap di sini untuk belajar. Teman-teman Nana ini seru-seru dan suka makan. Kalau UTS tiba, saya juga pasti kebagian cemilan belajar mereka. Pisang goreng, martabak, lumpia, batagor, sop buah, sampai ke pesan antar makanan siap saji paling mahal sekota ini.

Pacarnya Nana yang sekarang lumayan ganteng menurut saya. Namanya Bimo. Selain pacar, Nana punya banyak teman laki-laki yang ganteng sih. Awal kenal Nana, saya sedikit sirik. Saya dulu meyakini kalau Nana tipe wanita lenje menye menye yang manja pada laki laki dan haus belaian. Tahu kan, kadang-kadang pasti ada aja teman yang kelakukannya macam pecun. Nemplok sana, nemplok sini, sok imut dan sok manja. Sayangnya kadang putri cantik dengan banyak pangeran yang mengaguminya memang ada di kehidupan nyata. Nana memiliki semua kualifikasi untuk membuat banyak pria suka berada di dekatnya. Butuh beberapa minggu untuk menerima kenyataan pahit ini dan menghapus rasa sirik ini.

Kalau Ayi, agak susah dideskripsikan. Lebih tepatnya misterius. Berita yang saya dengar di kampus adalah Ayi ini pintar luar bisasa. Konon katanya selama kuliah Ayi cuma pernah dapat nilai C satu kali, sisanya A.Orangnya memang terlihat ambisius di awal. Kalau ngobrol yang diomongkan selalu saja masalah kuliah, tugas, ujian. Setiap minggu Ayi pergi ke gereja. Sekilas memang Ayi ini seperti anak mahasiswi baik-baik pada umumnya. Dan sama seperti Nana, dengan sudut pandang yang berbeda orang macam Ayi ini juga selalu membuat saya sirik.

Tapi Ayi menjadi begitu berbeda di mata saya ketika pada suatu dini hari, Ayi pulang ke kosan dalam keadaan setengah mabok diantar pacarnya. Siapa ya namanya, Gunawan atau Awan atau Wawan, saya lupa. Seumur hidup, baru pertama kali ini saya melihat orang mabok karena minuman beralkohol. Ayi muntah-muntah di kamar mandi. Saya, yang dini hari itu masih terjaga karena mengerjakan Tugas Pendahulan praktikum mahalaknat yang harus diketik dengan mesin ketik manual, keluar kamar mendengar suara orang muntah sambil setengah menangis. Setengah kaget, begitu pacarnya melihat saya, dia langsung minta bantuan. Walau agak rikuh, saya bersama si pacarnya Ayi itu membopong Ayi masuk kamar dan membantu mengganti baju Ayi yang basah karena muntah.

Ayi menangis-nangis meracau soal terlambat datang bulan. Si pacarnya Ayiyang sepertinya juga mabok begitu masuk kamar malah langsung jatuh tertidur, mungkin kelelahan membopong Ayi dari tempat parkir ke kamar. Ayi meracau soal ciuman dan pegangan tangan lalu soal ujian lalu kembali lagi soal terlambat datang bulan dan ingin membeli test-pack.Suasana ini terlalu aneh. Pikiran kecil saya yang sudah dididik tentang etika berhubungan badan dan berkegiatan seksual yang aman dan legal langsung bereaksi keras. Bereaksi untuk member label “murahan” kepada Ayi dan label “bajingan” kepada pacarnya Ayi. Bereaksi untuk memasukan kedua orang mabok di hadapan saya ini ke dalam kantong “pendosa”. Tapi itu hanyalah reaksi dalam otak kecil saya. Secara fisik saya tetap di situ mendengarkan racauan Ayi seolah-olah hal ini hanyalah hal biasa yang terjadi di dunia ini. Ayi meracau dan ketika akhirnya tertidur, adzan subuh berkumandang.

Saya tahu sebenarnya saya tidak harus di situ. Saya bisa saja kembali ke kamar mengerjakan tugas maha laknat. Tapi toh saya tetap di situ. Mendengarkan ocehan Ayi. Memasang telinga baik-baik merekam kisah-kisah beraura negatif. Cerita jelek tentang seseorang selalu memiliki nilai tambah dan memberi kenikmatan entah kenapa. Saya kembali ke kamar dengan muka senang. Memang sifat dasar manusia itu adalah sirik. Dan ketika tahu subjek sumber sirik tidak sesempurna yang dikira, rasanya itu sangatn menyenangkan.

Sorenya sayup-sayup dari kamar Ayi, saya bisa mendengar Nana mengomel. Tidak biasanya mereka ngobrol di kamar. Biasanya nglorong seperti biasa.

Cowok lo nginep siniya? Lo minum tadi malem?”

“Iya, dikit.”

“Kalo dikit, itu jekpot bersihin yang bener napa sih. Ga enak tahu pagi-pagi mandi sisa muntah di mana-mana.”

“Sorry...”

“Terus cowok lo nginep?”

“Gw bangun si dia uda ga ada.”

“Kalo ketahuan bibi gimana. Lo tuh pinter tapi kalo soal beginian kok suka oon sih?”

“Jangan kenceng-kenceng dong, kedengeran Sela gimana?”

Lalu suara obrolan mereka diperkecil. Saya sebenarnya juga ingin tahu kenapa dan ada apa. Saya ingin mengetuk dan bilang kalau tadi pagi saya membantu membopong Ayi ke kamar. Tapi cukup sulit menguping lebih lanjut dan saya pikir Ayi ingin merahasiakan ini dari saya.Mungkin dia ingin mempertahankan kesan ‘Ayi anak baik-baik’ yang selama ini ada di kepala saya. Akhirnya saya memilih untuk tidak ingin tahu dan berlagak tidak tahu.

Sejak saat itu saya memperhatikan Ayi dengan seksama. Saya merasa bahwa badannya mengembang. Tubuhnya jadi membulat, perutnya membuncit. Hipotesa saya adalah Ayi hamil. Tapi bulan demi bulan berlalu dan drama yang saya harapkantidak terjadi. Sempat saya berpikir jangan-jangan Ayi menggugurkan kandungannya, tapi kemudian saya merasa prasangka itu terlalu kejam. Ayi lalu putus dengan pacarnya dan dalam waktu kurang dari tiga bulan, Ayi punya pacar baru lagi. Kalau ini saya tahu pasti karena pacar baru Ayi adalah kecengan sejak SMA-nya teman jurusan saya.

Gedubrak!!

Suara pintu kamar mandi dibuka dengan cara ditendang. Memang begitu cara membuka pintu kamar mandi kosan ini. Nana keluar dengan handuk saja. Saya melihatjam. Empat puluh lima menit lamanya Nana mandi.

Sel, lo mau ke kampus ga?”

“Iya habis mandi ini.”

“Mau bareng gw? Ada yang mau jemput gw nih. Naik mobil doi. Hehehe..“

“Asiiik. Mau! Eh ini cowok lo yang ngejemput?“

”Bukan , ini bukan Bimo. Ini yang lain yang sejurusan ama gw. Tapi lo jangan bilang Bimo yaaaaa.“

Hahahaha..“

Kami berdua tertawa. Saya tertawa setengah sirik. Gila ya ni Nana. Udah punya pacar masih juga ngejabanin cowok yang bukan pacarnya.

Gw butuh charger nih, si Ayi kan ga jelas di mana. Terus dia mau minjemin gw chargernya, sekalian maujemput gw gitu Sel…”

Nana, seperti bisa membaca pikiran saya, langsung memberi penjelasan. Apa pun alasannya, sirik tetaplah sirik walau sedikit dan hanya sesaat. Tapi sirik kali ini cepat memudar karena saya bisa menghemat empat ribu rupiah untuk pergi ke kampus. Saya segera bergegas mandi.

[Bersambung..]

_________________________

*Cerita ini adalah bagian dari serial Jek. Cerita-cerita pendek yang tidak perlu dibaca berurutan tapi saling terkait. Silakan lihat di sini :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline