Lihat ke Halaman Asli

Pasal Tiga Empat

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kalau sudah lelah dan penat bekerja, dia akan tiba-tiba sudah muncul di pintu rumahku. Biasanya sekitar jam sembilan atau sepuluh malam. "Lebih enak, jalanan sepi," menurutnya jam delapan itu sudah paling pas untuk meninggalkan kantor. Rumahku itu di pinggiran Bekasi, kantornya di pusat Jakarta.

Biasanya dua bulan sekali dia muncul tiba-tiba, tapi sudah sebulan ini hampir tiap malam. Setiap hari pukul sembilan atau sepuluh ketukan terburu-buru itu selalu terdengar.

"Aku ingin berhenti kerja."
"Kenapa?"
"Capek kerja."
"Ya makanya kamu dibayar."

Dia keluar dari kamar mandi dengan hanya menggunakan pakain dalam. Wajah tangan dan kakinya basah. Aku lemparkan handuk. Dia tidak berusaha menangkap, dibiarkan begitu saja jatuh ke lantai.

"Bukan capek itunya. Capek mental."
"Sama aja. Makanya kamu dibayar."
"Bukan. Bukan itu. Dengarkan dulu."
"Ya. Coba apa."

Handuk di lantai sudah pindah tempat menutupi badannya, pakain dalam di tubuhnya juga sudah pindah tempat ke lantai. Dia membuka lemari mencari-cari baju ganti.

"Aku keluar dari kosan, pengemis di depan gang. Aku naik kopaja, pengamen tiap seratus meter. Kalo aku naik taksi, orang minta-minta tiap lampu merah. Masuk kantor obrolan yang ada sekitar baju bermerek dan jalan-jalan ke sana ke sini. Makan di sana di sini. Tapi pekerjaan kita itu mengurusi orang orang ini. Pengemis, pengamen. Aku suka bingung, sebenarnya aku ini digaji hanya untuk berakting bahwa aku peduli dengan pengemis - pengemis ini. Padahal memikirkan saat makan siang pun tidak."
"Terganggu secara batiniah?"
"Mungkin. Bertanya-tanya saja benar atau tidak pekerjaanku ini. Keadilan sosial apa ini?"
"Menurut kamu harusnya seperti apa?"
"Entah. Tapi menurut kamu kenapa ada pasal UUD 45 yang bilang fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara?"
"Supaya benar secara etika."

Dia sudah ada di tempat tidur dan masuk ke dalam selimut. Handuk sudah tergantung di gantungan handuk dekat kamar mandi.

"Tanpa ada pemikiran panjang tentang bagaimana implementasinya?"
"Harusnya sih ada, orang yang merancang UUD mustinya orang-orang hebat kan?"
"Terus kenapa keadaannya begini sekarang. Aku bukannya sok malaikat ya. Tapi ini mengganggu."
"Kamu kenapa tiba-tiba jadi memikirkan hal macam ini sih? Hahaha. Ga cocok."
"Sirkulasi uang yang aneh sayang. Barter yang aneh. Kemisikinan itu elemen hidup yang tidak memberi nilai tambah tapi menghasilkan uang. Agak paradoksial. Ya mereka butuh untuk hidup sehari-hari sih. Tapi kalau omong soal ketidak adilan, mana yang lebih tidak adil? Sama-sama hidup satu tidak bisa makan satu bisa makan? Atau sama-sama bisa makan tapi satu kerja satu tidak perlu kerja?"
"Kenapa sih kamu mikirin ini."
"Mungkin karena aku masih cinta bangsa ini."
"Hahaha, sampai kapan?"
"Entah."

Kali ini dia mulai menciumku pelan-pelan di bagian dada dan leher.

"Kalau kamu mencari sesuatu untuk disalahkan itu terlalu sulit sayang. Kita hidup di jalinan benang yang terlampau kusut."
"Iya tapi aku benar tidak tenang menjalani hidup dengan ironi macam ini. Lebih baik kawin sama kau saja. Jelas ada di kelas mana. Jelas berjuang untuk siapa. Jelas berteriak membenci siapa. Daripada harus hidup di dua dunia macam itu."
"Maksudmu jadi munafik?"
"Iya."
"Hahaha."
"Lebih bermartabat jadi polisi lalu lintas atau ABRI sekalian menurutku. Daripada makan duit proyek-proyek sosial pemerintah macam aku sekarang. Ingin berhenti kerja."
"Kalau mau kawin sama aku, kamu juga harus tetap kerja sayang."
"Sialan."
"Jadi mau?"
"Intinya aku capek. Jadi idealis capek. Memikirkan bangsa ini capek. Boleh ga aku egois bersenang-senang memikirkan diri sendiri dulu?"
"Iya boleh. Sini.."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline