Lihat ke Halaman Asli

Tujuh Membunuh

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dua garis strip itu terlalu jelas untuk tidak dihiraukan. Karton kecil pipih itu masih bertengger di pinggir gelas plastik berisi cairan sisa metabolisme berwarna kuning bening.

Senin pagi.

Dua mata itu terlalu marah untuk diajak kompromi. Hempasan tangan kanannya sudah memberikan warna merah tambahan di sudut bibir yang dulu sering dia bilang seksi dan menggairahkan.

Selasa malam.

Dua pil putih kecil itu terlalu sayang untuk dibuang setelah dipesan dengan susah payah secara sembunyi-sembunyi. Efeknya manjur dan datang bulan yang terlambat itu bisa segera diselesaikan segera sebelum timbul masalah baru.

Rabu siang

Dua pasang kaki itu terlalu sibuk bermain di atas tempat tidur. Wanita si empunya kasur punya cukup banyak waktu mencerna dan memahami dengan jelas apa yang dilakukakn laki-laki yang dia panggil suami dan kerabatnya yang dia panggil oom berdua tanpa busana di atas sana.

Kamis sore.

Dua lembar uang lima puluh ribu rupiah itu terlalu sedikit dibawa ke warung depan.  Sekali lagi ada hempasan kasar di daerah pipi penuh amarah minta makan tanpa sadar hutang yang harus dibayar butuh berpuluh puluh lembar kertas kebiruan itu.

Jumat pagi.

Dua tangan itu terlalu gemetar untuk mengambil telfon genggam. Darah mengalir tidak berhenti, rasa nyeri luar biasa, dan demam tinggi, itu semua sudah cukup menjadi alasan untuk memohon penghentian hempasan bertubi-tubi.  Tapi itu mimpi. "Jalang!".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline