Lihat ke Halaman Asli

Cerita Ayi

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku masih tidak bisa berpikir. Malam ini aku memutuskan tidak akan pulang ke rumah lagi atau ke mana pun. Kantongku kosong. Lembaran terakhir berwarna ungu itu sudah berubah menjadi mangkok bakso dan teh botol yang telah kuhabiskan berjam-jam yang lalu. Langit cerah tapi udaranya begitu dingin menusuk. Baru kali ini langit malam begitu membosankan.

Kota yang asing. Terminal ini masih saja ramai. Tiba-tiba ada tangan hangat menyentuh kepalaku. Refleks aku menepisnya. Seorang lelaki ceking ikut duduk di sampingku. Bau rokok.

"Kamu kesasar ya?"

"Engga bang."

"Ga punya ongkos pulang?"

Aku diam.

"Nih.. Cepet pulang. Ga baek di sini sendirian malam-malam."

Dia menyusupkan lembaran hijau ke  dalam genggaman tanganku. Tangannya terasa hangat.

"Engga bang. Makasih."

Hening. Lalu dia diam menatapku. Aku juga diam menatapnya. Dia melihatku dengan seksama. Aku tahu dia sedang mempelajari asal-usulku. Dan bisakah dia melihat mataku bengkak? Aku menangis terus tidak berhenti sejak tiga hari yang lalu.

"Ikut abang aja mau?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline