Lihat ke Halaman Asli

Mengulas Film '13 Bom di Jakarta': Ambisius Namun Kurang Matang

Diperbarui: 21 Juni 2024   16:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Film "13 Bom di Jakarta" besutan sutradara Angga Dwimas Sasongko menawarkan sebuah sajian aksi yang ambisius dan menjanjikan sensasi mendebarkan. Dengan latar belakang kota Jakarta yang diwarnai teror, film ini menyuguhkan 13 ledakan bom yang direncanakan oleh organisasi kriminal yang berusaha menghancurkan ibu kota. Namun, meskipun diiklankan sebagai film aksi terbesar tahun 2023, ada sejumlah elemen yang perlu dibedah secara lebih kritis.
Cerita "13 Bom di Jakarta" diawali dengan premis yang sederhana namun kuat: organisasi teroris berencana meledakkan 13 bom di Jakarta. Ketegangan langsung dibangun sejak menit pertama dengan adegan meledakkan mobil menggunakan bazoka. 

Aksi yang intens dan penuh efek visual memperlihatkan komitmen film ini untuk menghadirkan pengalaman sinematik yang immersif. Adegan tembak-menembak dan penggunaan efek praktikal berhasil menciptakan atmosfer baku tembak yang nyata, membawa penonton masuk dalam suasana yang mencekam.

Namun, kendati aksi yang disuguhkan sangat menonjol, film ini nampaknya kurang dalam hal pengembangan cerita dan motivasi karakter. Karakter protagonis dan antagonis kurang mendapatkan porsi pengembangan yang memadai, sehingga membuat penonton sulit untuk merasa terikat atau peduli dengan nasib mereka. Dialog yang seringkali terasa kaku dan kurang alami menambah kesulitan dalam membangun koneksi emosional antara karakter dan penonton.
Dari segi akting, Lutesha tampil menonjol dengan memberikan kehidupan pada karakternya. Meskipun hubungan antara karakter yang diperankan Lutesha dan Ardhito Pramono kurang terasa meyakinkan sebagai pasangan kekasih, Lutesha berhasil menunjukkan performa yang kuat dan penuh nyawa. Sebaliknya, akting para aktor lainnya, termasuk yang senior sekalipun, terkadang terasa datar dan tidak mampu menghidupkan dialog yang ada.
 
Film ini juga berusaha memasukkan elemen teknologi seperti istilah-istilah kripto, yang mungkin bertujuan untuk menambah kesan modern dan relevan. Namun, bagi penonton awam, istilah-istilah tersebut bisa membingungkan, terlebih tanpa adanya subtitle yang menjelaskan. Ini menunjukkan bahwa film ini kurang memperhatikan kenyamanan penonton dalam memahami konten yang disajikan.

Salah satu aspek yang patut diapresiasi dari "13 Bom di Jakarta" adalah visual dan penciptaan suasana kota Jakarta yang mencekam. Aransemen musik oleh Abel Huray berhasil menambah ketegangan dan atmosfir yang dibutuhkan untuk menggambarkan kota dalam ancaman teror. 

Pencahayaan yang redup dan visual yang kelam mendukung narasi teror yang tengah berlangsung, membuat penonton bisa merasakan urgensi dan bahaya yang mengintai.

Namun, kekurangan utama dari film ini adalah penggunaan product placement yang berlebihan. Alih-alih memperkaya cerita, produk-produk tersebut malah terkesan memaksa dan mengganggu alur cerita, sehingga mengurangi keseriusan dan kualitas narasi. Keberadaan product placement yang terlalu mencolok seakan-akan menjadikan film ini lebih mirip iklan panjang daripada sebuah film yang fokus pada cerita dan karakter.

Secara keseluruhan, "13 Bom di Jakarta" adalah sebuah proyek ambisius yang berhasil menyuguhkan aksi yang spektakuler. Namun, aksi saja tidak cukup untuk menjadikan sebuah film berkesan dan berkualitas. 

Kurangnya pengembangan karakter dan narasi yang kuat, ditambah dengan dialog yang kaku dan penggunaan product placement yang berlebihan, membuat film ini terasa kurang matang dan tidak mampu sepenuhnya memenuhi ekspektasi sebagai film aksi terbesar tahun 2023.

Bagi penonton yang hanya mencari hiburan aksi tanpa terlalu memikirkan kedalaman cerita, "13 Bom di Jakarta" mungkin bisa menjadi pilihan yang menyenangkan. 

Namun, bagi mereka yang mencari lebih dari sekadar efek ledakan dan baku tembak, film ini mungkin akan terasa mengecewakan. Sebuah film yang mengusung tema terorisme dan aksi besar-besaran semestinya mampu menawarkan lebih dari sekadar sensasi visual; ia harus mampu menyentuh sisi emosional dan intelektual penonton melalui cerita yang solid dan karakter yang hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline