Film menjadi salah satu media untuk membentuk konstruksi di masyarakat yang kemudian ditayangkan dalam sebuah layer (Sobur, 2006, h. 127). Sama halnya ketika membahas soal perempuan, pandangan masyarakat mengenai perempuan kebanyakkan juga terbentuk oleh apa yang media (film) tampilkan.
Senang sekali pada kesempatan ini, saya akan kembali mengulas sebuah film yang berasal dari tanah air. Film Kartini (2017) menjadi pilihan saya untuk dikulik lebih dalam terkhusus menggunakan teori media dan feminisme. Kartini, merupakan sosok perempuan dari Jepara yang selama ini kita ketahui telah memperjuangkan kaum wanita dari penindasan patriarkal.
Potret masyarakat Jawa dalam film Kartini berhasil membuat saya takjub dan puas akan alur cerita film. Film garapan Hanung Bramantyo yang rilis pada tahun 2017 ini menceritakan tentang Kartini (Dian Sastrowardoyo) yang tumbuh dengan melihat ibunya bernama Ngasirah (Christine Hakim) yang tak menyandang gelar ningrat menjadi orang terbuang di rumahnya sendiri.
Kali ini, saya akan mencoba mengupas film Kartini dengan menggunakan perspektif feminisme. Feminisme merupakan sebuah gerakan sosial perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan serta keadilan hak dengan pria (Rokhmansyah, 2016, h. 37). Feminisme juga dapat dipahami sebagai sebuah bentuk perjuangan untuk mengakhiri penindasan terhadap kaum perempuan.
Gerakan feminisme yang dilakukan Kartini dapat dilihat melalui perjalanan hidupnya. Kartini terus berjuang untuk menyetarakan hak-hak masyarakat baik yang memiliki keturunan ningrat maupun tidak.
Tak hanya itu, Kartini juga fokus untuk mengupayakan hak pendidikan bagi kaum perempuan bersama dengan kedua adiknya Roekmini (Acha Septriasa) dan Kardinah (Ayu Sitha).
Sebagai sosok perempuan Jawa yang tangguh, Kartini ingin mendirikan sekolah bagi kaum miskin dan memberikan pekerjaan bagi masyarakat Jepara.
Kartini Sebagai Simbol Perlawanan