Lihat ke Halaman Asli

Kisah Heroik Operasi Pembebasan Sandera Pesawat DC-9 Garuda Woyla

Diperbarui: 3 April 2016   14:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Operasi Pembebasan Sandera DC-9 Garuda Woyla, Don Mueang, Thailand, oleh Kopassandha (Foto: merdeka.com))"][/caption]

Kalau anda pernah nonton film Black Hawk Down, ada sebuah dialog dari karakter SFC Norm "Hoot" Gibson yang diperankan artis Eric Bana: “When I go home people will ask me, "Hey Hoot, why do you do it man? What, you some kinda war junkie?" You know what I'll say? I won't say a goddamn word. Why? They won't understand. They won't understand why we do it. They won't understand that it's about the men next to you, and that's it. That's all it is.”

Tak ada manusia penggila perang. Ini semua hanyalah tentang orang-orang yang ada di sebelah anda. Hanya itu. Nobody asks to be a hero, it just sometimes turns out that way. Menyentuh sekali kan?

Saya pernah nonton film (Maaf, saya lupa judulnya), berkisah tentang dua kakak beradik yang ikut berperang pada PD I. Ada sebuah adegan dramatis dimana sang kakak melihat adiknya tertembak dan terjebak dalam area baku tembak. Didorong cinta dan kasih sayang terhadap adiknya itu, sang kakak berusaha menyelamatkannya, walaupun untuk itu ia harus terluka parah diterjang rentetan peluru musuh.

Komandan musuh yang melihat aksi heroik sang kakak akhirnya jatuh iba. Ia memerintahkan pasukannya agar menghentikan tembakan. Sang kakak yang terluka parah akhirnya berhasil menarik adiknya yang nyaris sekarat itu ke zona aman.

Yang saya mau tulis bukanlah tentang sinopsis film perang, melainkan aksi heroik manusia di tengah tragedi kemanusiaan. Gak tahu, saya mudah menitikkan air mata apabila menyaksikan ketulusan cinta, kasih sayang, pengorbanan dan jiwa kepahlawanan dalam diri manusia. Kadang heroisme terjadi begitu saja tanpa kita pernah meminta.

Sabtu pagi pada tanggal 28 maret 1981, pesawat DC-9 Garuda Indonesia Woyla GA 206 yang terbang dari bandara sipil Talang Betutu, Palembang, menuju Bandara Polonia, Medan, dibajak oleh lima orang bersenjata api.

Pesawat yang dipiloti Kapten Herman Rante diperintahkan oleh pembajak yang menodongkan senjata di kepalanya agar mendarat ke Kolombo, Sri Lanka. Namun Kapten Herman menolak karena tidak cukup bahan bakar. Pesawat kemudian dialihkan ke Penang, Malaysia, guna pengisian bahan bakar sebelum kemudian dipaksa terbang ke Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand.

Para teroris yang mengaku berasal dari kelompok Islam ekstremis Komando Jihad kemudian membacakan tuntutan mereka, yakni agar pemerintah Indonesia membebaskan anggota Komando Jihad yang ditahan dan meminta uang tebusan sejumlah US$ 1,5 juta. Mereka mengancam telah memasang bom di pesawat Woyla dan tidak segan-segan untuk meledakkan diri bersama pesawat tersebut.

Presiden Soeharto tegas menyatakan tidak mau bernegosiasi dengan pembajak. Bagaimana mungkin sebuah negara yang berdaulat penuh bersedia bernegosiasi dengan penjahat? Selengkapnya.

Pada pukul 21.00, 29 Maret, 35 anggota Grup-1 Para-Kopassandha (sekarang Kopassus) dibawah pimpinan Letnan Kolonel Infanteri Sintong Panjaitan meninggalkan Indonesia dalam pesawat DC-10, mengenakan pakaian sipil. Operasi kontra terorisme pembebasan pesawat DC-9 yang dikenal dengan sebutan Operasi Woyla dimulai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline