Membaca artikel di Kompasiana saya pasti tidak melewatkan baca juga komentar-komentar di bawahnya. Menarik, lucu dan cerdas menggelitik. Apalagi kalau baca komentarnya Mas Pebrianov atau Mbak Desol, saya sampai ngakak sendiri, mengundang tanya anak-anak saya yang merasa terganggu dengan ngakak-nya saya itu, “Mamah, kenapa sih?” Habis lucu dan cerdas banget mereka berdua itu.
Bahkan dari komentar-komentar itu saya malah bisa mendapatkan info-info aktual terkait artikel di atasnya. Itulah saya pikir yang membuat tulisan-tulisan di Kompasiana menjadi hidup. Salut buat Mas Pepih Nugraha. Saya salah seorang pengikut setianya di ‘Nulis Bareng Pepih’. (Hehe ... ada yang ngajarin saya, tulisan biar di-ha’el rada ngejilat dikit)
Di antara komentator yang rajin ngurusin artikel orang, ada yang bernama Pakde Sartono. Di awal saya mencurigai kalau karakter pakde ini buatan admin atau siapa lah, agar republik kompasiana ini mirip kaya di sinetron-sinetron, ada tokoh antagonis yang fungsinya memang untuk dibenci dan disumpahserapahi.
Tapi kata Pakde Kartono yang jagoan ha’el dan en’te, dulu si Pakde Sartono ini bernama JMJJ (Jakarta Menagih Janji Jokowi), setelah Jokowi jadi presiden, JMJJ ini –mungkin karena saking ngefans-nya dengan Pakde Kartono atau jangan-jangan mereka berdua kembar- ganti nama jadi Pakde Sartono.
Si Pakde ini unik. Dia konsisten jadi hater dengan komentar-komentarnya di artikel orang lain. Pokoknya, sepertinya selain menciptakan iblis Tuhan juga menciptakan manusia yang satu ini untuk membuat kerusakan di muka bumi (Hehe ... bercanda Pakde. Jangan keluar api gitu dong). Sampai-sampai Mbak Mike Reyssent menulis kisah imajiner ‘Troll di Kampung Kamposaina’. Walaupun Mbak Mike disitu memplesetkan nama-nama dalam kisahnya itu, saya kok berchusnuzon bahwa tokoh sentral dalam kisah itu adalah si pakde kita ini.
Anehnya, saya kok jadi tertarik dengan orang satu ini. Setiap membaca tulisan di kompasiana berikut komentar dibawahnya, saya juga nyari komentar si pakde. Kalau pakde gak nongol sayapun terpenjara dalam rasa kangen sekangenkangennya (Ada yang punya mylanta gak?). Mungkin benar teori tentang pikiran bawahsadar, bahwa bawahsadar kita tak bisa membedakan apakah kita menyukai atau tidak tapi ketika sesuatu itu secara emosi kita merekamnya dalam pikiran maka sesuatu itu akan membentuk ikatan emosional dalam diri kita.
Eh, tapi Pakde juga pernah nulis, lho. Terakhir do’i nulis tanggal 09 Maret 2014, jam 17:56:12. Dari 13 tulisannya yang ia publish itu ada kompasianer yang setia ngomentarin: “bersihkan WC terminal dulu sana, baru nulis...hak hak hak ” Wow, sadisnya, Om.
Seandainya Pakde Sartono ini adalah sebuah karakter yang memang diciptakan untuk ‘mencela dan memakimaki seluruh warga kampung’ seperti yang ditulis Mbak Mike itu, mampukan si pencipta karakter itu memisahkan dirinya secara psikologis dengan tokoh karakternya itu? Tidakkah si pencipta nantinya akan terjebak pada kondisi kejiwaan berkepribadian ganda seperti dalam kisah Dr Jekill and Mr Hyde?
Untuk Pakde Sartono (atau siapapun Pakde), saya mohon maaf sebesar-besarnya atas tulisan ini. Semata-mata tulisan ini hanya untuk pembelajaran saja bagi kita semua. Saya tidak bermaksud ngajarin Pakde, kuwalat nanti. Pakde, kata-kata kita ibarat peluru, tak bisa dicegah apabila telah meluncur. Kata-kata akan mengembara di ruang kehidupan menciptakan keburukan atau kebaikan. Ketika kita melontar kebencian, maka kebencianlah yang akan kita terima. Saya yakin dalam diri Pakde masih menyimpan nilai-nilai kebaikan.
Salam damai ya Pakde. Tetaplah berkomentarria, tapi yang kaya Om Peb dan Mbak Desol tuh kalau bisa; cerdas, lucu, menggelitik dan mengasah kita untuk tidak gagal paham.
.....