Lihat ke Halaman Asli

Tradisi Gak Pernah Malu ...

Diperbarui: 3 September 2015   23:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya pernah baca sebuah iklan rumah makan di kota kami yang menyajikan Rabeg (Gulai kambing) sebagai menu utamanya. Dalam iklan tersebut ditulis: “Rabeg, makanan tradisi para sultan Banten.” Dalam hati saya geli sendiri bacanya, apa urusannya urusan perut dikait-kaitkan dengan sejarah kekuasaan masa lalu propinsi ini.

Ibu saya juga terkenal jago memasak gulai daging. Daging yang diiris kecil-kecil dengan kuah bumbunya yang medok, woow enak banget deh pokoknya, dan ibu sering membanggakan masakannya itu sebagai warisan dari tradisi keluarga kami. Sewaktu nenek masih hidup saya pernah menanyakan hal ini kepadanya. Nenek hanya tertawa, “Ibumu gemblung. Wong nenek melakukan itu dulu karena anak nenek ini kan banyak dan dulu zaman susah, jadi nenek potong kecil-kecil dagingnya, bumbu sama kuahnya dibanyakin biar semua anak nenek kebagian.”

Tradisi atau kebiasaan dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat. Bahkan, orang kadang lebih memilih tradisi secara taklid yang dianggap sebagai jatidirinya ketimbang mencari esensi penyebab lahirnya tradisi itu sendiri.

Saya tertarik dengan tulisan Mbak Ifani hari ini tentang tradisi gak pernah malu DPR kita yang suka jalan-jalan pake uang kita-kita. Tanggal 22 sampe 26 Agustus kemaren, Anggota Komisi III DPR-RI kita melakukan studi banding soal hukum adat ke Inggris. Padahal menurut ahli hukum pidana Prof Andi Hamzah, di Inggris gak ada KUHP. Nah, terus mereka studi apa ... ? Dan kunjungan kerja ini ditaksir menghabiskan uang lebih dari 3,3 milyar, dibagi 9 orang, jadi satu orang dapet sekitar 366 juta untuk 6 hari.

Tradisi gak pernah malu para anggota dewan yang terhormat itu dilakukan di saat rakyat yang nafasnya sedang senen kemis karena kurs rupiah yang semakin melemah terhadap dolar; di saat rakyat susah untuk dapet makan daging, kalaupun dapet ... dipotong kecil-kecil, bumbu sama kuahnya dibanyakin biar semua kebagian ... Dan tradisi ini berlangsung dari periode ke periode, dari orde ke orde. Orang-orang gak punya malu ini leluasa dan gak malu-malu lagi mempraktekan perilaku malu-maluin ini. Ya iyaa laaah, wong mereka yang nganggarin sendiri, ngelaksanain sendiri, ngawasin sendiri ... Ini negara kok bisa jadi begini ya?

Kita butuh orang berani dan jujur untuk mengatakan ‘tidak!’ terhadap tradisi gak pernah malu ini. Berani dan jujur pada dirinya sendiri dan berani untuk melakukan tindakan yang out of the box. Jangan kaya mas dan mbak-mbak yang di tivi dulu itu lho, katakan tidak pada korupsi tapi: aku sih yes .... Gemblung!

Bicara jujur dan berani out of the box, saya teringat dengan sosok Tubagus Iman Ariyadi, Walikota Cilegon. Hari-hari pertama menjabat, dia galau. Kegalauan yang dia rasakan itu apabila dia berangkat dari rumah ke kantor dinasnya. Tradisi atau protap protokoler mengharuskan mobil dinas walikota dikawal voorrijder. “Yang pertama, masyarakat merasa terganggu karena bising sirene voorrijder dan iring-iringan mobil dinas saya, padahal tradisi protokoler yang seperti ini kan gak perlu dan hanya memboroskan anggaran. Kemudian yang kedua, saya kok ngerasa kaya penganten sunat aja ya, diiring-iring ...“ katanya berkelakar. Besoknya beliau membuat kebijakan meniadakan protap voorrijder dan mengganti mobdin-nya yang semula Toyota Land Cruiser Prado menjadi Kijang Innova.

Itu hanya sebagian kecil gebrakan walikota muda ini. Dari mulai menjabat dia memang banyak membuat kebijakan; diantaranya melakukan reformasi di tubuh birokrasinya sehingga terjadi efisiensi anggaran dan pelayanan publik yang efektif. Dan yang paling kereen, pemkot Cilegon sukses membebaskan biaya pendidikan dari SD, SMP, sampai dengan SLTA dengan menanggulangi biaya tersebut menggunakan APBD-nya.

Nah, kembali ke anggota DPR yang melanggengkan tradisi gak pernah malu di atas, dan untuk Kompasianer yang menggunakan pena sebagai pedang guna melawan orang-orang seperti itu, coba deh kita simak sindiran Ahmad Tohari, penerima Penghargaan Achmad Bakrie XII 2015, 21 Agustus 2015 kemarin, yang ditujukan kepada DPR melalui ketuanya: "Bapak Setya Novanto, ... Banyak orang pandai di Indonesia ini, tapi yang kurang adalah perasa dan sensitif. Berpolitik tanpa sensitifitas menjadikan kita gaduh mulu.“

Tradisi gaduh dan gak pernah malu!

Salam Damai .....

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline