Malam Minggu malam yang bertabur pesona cinta. Bosan dengan tulisan politik dan komentar komentar yang menghujat? Hehe ... Kenapa gak coba manjain diri dengan kisah-kisah cinta. Dan, saya seorang ibu 4 anak yang ingin selalu hidup bahagia, syalala..., menawarkan kepada Anda untuk melembutkan hati melihat sisi terang kehidupan ini. Mari kita bersama-sama mendamaikan diri kita ini dengan cinta.
Beberapa hari ini, di sebuah tivi berlangganan, diputar berulang-ulang film epik perang Troy yang diambil dari kisah Iliad-nya Homer. Walaupun film itu bercerita tentang perang tapi saya lebih suka melihat dari sisi roman cintanya. Dan dialog-dialog dalam film ini, woow kereen banget dan begitu menginspirasi saya. Film yang skenarionya ditulis David Benioff dan disutradarai Wolfgang Petersen ini sebenarnya sudah puluhan kali saya tonton tapi gak pernah sedikitpun saya merasa bosan menontonnya.
Bagi Kompasianer yang pernah menonton film tersebut coba deh simak dialog Raja Troya, Priam (Peter O'Toole), kepada Paris (Orlando Bloom) putranya yang membawa lari Helen dari Sparta: “I've fought many wars in my time. Some I've fought for land, some for power, some for glory. I suppose fighting for love makes more sense than all the rest.” Dan dari situlah asal muasal kisah perang besar itu dimulai.
Cinta memang sulit untuk dilogikakan. Demi cinta siapapun bisa melakukan hal-hal hebat dalam hidup ini, atau sebaliknya. Dari semua kisah roman cinta dalam film itu, saya semakin terinspirasi bahwa cinta jua lah saya kira yang membuat dunia ini masih tetap berputar; bahwa cintalah yang membuat kita tetap waras dari kehidupan yang absurd ini.
Saya juga pernah sampai menitikan air mata ketika menonton film Habibie dan Ainun. Film yang mengisahkan tentang perjalanan cinta presiden ke-3 kita itu mengisahkan tentang bagaimana kesetiaan Ainun mendampingi Habibie dengan mimpi besarnya demi negara ini. Dan bagi Habibie Ainun-lah yang menjadi sumber inspirasinya karena memiliki mimpi dan mewujudkan mimpi itu tidaklah mudah. Habibie dan Ainun tahu itu. Cinta mereka terbangun justru dalam perjalanan mewujudkan mimpi itu. Dari mulai dinginnya salju di Jerman, pengorbanan Ainun, rasa sakit, kesendirian serta godaan harta dan kuasa saat mereka kembali ke Indonesia mengiringi perjalanan dua kehidupan yang menjadi satu itu. Namun setiap kisah pasti memiliki bagian akhir, dan setiap mimpi mempunyai batas-batasnya.
Nah, Jumat siang kemarin (28/8), saya kebetulan mendampingi Ibu Ida Farida mengikuti acara kampanye damai pilkada Kota Cilegon. Bu Ida, demikian kami memanggilnya, adalah istri dari Pak Iman Ariyadi, salah satu kontestan yang ikut pilkada yang akan digelar serentak 9 Desember mendatang ini. Saya melihat kisah film Habibie dan Ainun menjadi nyata apabila melihat kesetiaan Bu Ida ketika mendampingi suaminya. Saat sang suamiya berorasi misalnya, Bu Ida sempat membisiki saya, Bu Laura tahu gak, saat dia berorasi di hadapan lautan manusia ini saya tak henti-hentinya berzikir, memohon agar suami saya tak selip bicara. Demikian juga saat suami melaksanakan tugas sehari-hari saya tak pernah putus dari berdoa. Karena tugas istri adalah menjadikan suaminya kuat dan tangguh, katanya sambil memandang kepada sang suaminya di depan podium.
Sedahsyat itukah peran cinta bagi kehidupan ini? Cinta jugalah yang telah menggerakan orang-orang besar yang pernah memerintah negeri ini. Siapa yang bisa meramalkan kejatuhan Presiden Soeharto? 32 tahun dia berkuasa, dimana kekuasaannya itu nyaris mengakar sampai ke strata paling bawah di negeri ini, akhirnya dia menyatakan lengser keprabon juga. Sebagian pengamat yang melihat dari kacamata yang berbeda melihat bahwa kejatuhan Soeharto ini adalah karena tiadanya Ibu Tien di sisinya. Sama dengan kisah Habibie, Soeharto telah kehilangan sumber inspirasinya, Soeharto telah kehilangan cinta yang selama ini menguatkannya, Soeharto telah kehilangan perempuan hebat yang telah menjadikan dirinya dicatat oleh dunia sebagai salah satu orang kuat di negeri ini, bahkan di dunia ini.
Kompasianer, dari kisah-kisah cinta di atas, saya bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa seorang lelaki bisa kuat sekokoh gunung karang apabila ada perempuan hebat di belakangnya yang menguatkannya dengan cinta. Sebaliknya juga, perempuan bisa menjadi hebat karena cinta dari lelakinya yang demikian kuat sekokoh gunung karang. Semuanya saling bertautan membentuk indah kehidupan ini .....
Ya, saya teringat dengan puisi yang (lagi-lagi) saya ambil dari Fim Troy yang saya tonton siang tadi:
Seperti bilah di tengah rerumputan
Seperti pasir di tengah lautan
Seperti batu di tengah aliran sungai
Seperti itu pulalah cinta
Yang saling bertautan dan membuat indah kehidupan di dunia ini..
So sweet kan? Sebuah kebahagiaan manakala kita bisa menjadi perempuan hebat dan kuat itu bagi keberhasilan orang yang kita cintai. Selamat bermalam minggu, Kompasianer. Sekarang, Peluk dengan cinta orang-orang di samping anda ya.
Salam Damai .....
---