Lihat ke Halaman Asli

Latifah Maurinta

TERVERIFIKASI

Penulis Novel

Ayah Calvin Wan, "A Man With The Golden Heart"

Diperbarui: 27 Mei 2020   06:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay.com

Ayah Calvin Wan, A Man With The Golden Heart


Gema takbir menyilet kesunyian. Malam kemenangan dihidupkan dengan pekikan kalimat pujian pada Tuhan. Sejumlah mobil hias berpawai di jalan raya. Suasana kian meriah dengan bunga-bunga api yang ditembakkan ke langit.

Kerlip bintang terkalahkan oleh silaunya cahaya lampu kota dan cahaya yang disemburkan dari kembang api. Lampu-lampu dari kendaraan roda empat dan roda dua menyorot tajam, seakan galak mengintimidasi pengguna jalan yang hanya mengandalkan kaki. Kedamaian malam rekah oleh sejumlah orang yang tumpah ke ruas jalan.

Walau beberapa bulan lalu kota cantik ini sempat diguncang pandemi, toh hari raya tetap semarak. Selamat tinggal virus. Selamat datang hingar-bingar pesta. Lebaran seolah membawa kemenangan dobel: kemenangan setelah tiga puluh hari menunaikan titah Tuhan dan kemenangan setelah menaklukkan virus mematikan. Pandemi hilang, kesedihan melayang.

Tak nampak lagi gurat sedih di wajah penduduk kota. Wajah-wajah penuh senyum melongok dari balik kaca jendela mobil. Senyum palsu para pedagang makanan dan pakaian dilemparkan pada pengguna jalan yang berlalu-lalang. Pasangan muda yang dipertemukan kembali setelah terkurung di rumah sekian bulan melempar senyum termanis.

Jalanan kota boleh tumpah-ruah disesaki manusia. Namun, tidak semua warga kota larut dalam euforia. Masih banyak pula yang lebih memilih melewati malam kemenangan dengan diam di rumah. Para penghuni rumah ini terbagi dalam beberapa kubu.

Pertama, kubu pemeluk agama fanatik. Saking fanatiknya, mereka menganggap segala bentuk tradisi dan perayaan adalah haram. Kubu satu ini lebih senang menghabiskan malamnya dengan beribadah dan selalu menganggap hanya kelompok merekalah yang masuk surga.

Kedua, kubu paranoid. Kumpulan orang satu ini tetap mengisolasi diri di rumah meski virus telah diberantas. Kecemasan masih bercokol di kepala mereka. Cemas bahwa virus itu akan datang lagi, mengobrak-abrik sendi kehidupan kota yang tengah memasuki masa normal. Kubu kedua diisi oleh gerombolan pencemas bermental marshmallow.

Ketiga, kubu pecinta sepi. Mereka tipe minoritas yang mencintai keheningan. Kesendirian adalah teman sejati. Keriuhan pesta pora tak membuat mereka mabuk. Kesepian jauh lebih adiktif.

Pria 34 tahun ini termasuk dalam kubu ketiga. Lone wolfe layak disematkan di belakang namanya yang indah: Calvin Wan. Ia sangat menikmati sepi. Sejak remaja, Calvin tak pernah suka dengan keramaian. Kecuali...

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline