Diplomasi Makan Siang
Kamar paling luas berdinding krem itu tak lagi kosong. Ayah Calvin menempatinya sejak jatuh sakit. Terang saja Silvi rewel. Dia terlanjur nyaman tidur bersama Ayahnya. Namun, Ayah Calvin lebih memprioritaskan kesehatan Silvi.
Pancaran sinar merah keemasan mentari pagi berpadu dengan dinding kamar yang berwarna soft. Jelang pukul enam pagi tak terasa. Walau pagi terus merangkak, Ayah Calvin belum beranjak dari pembaringannya. Sangat di luar kebiasaan.
Ingin larut dalam lelapnya tidur, tak bisa. Bukannya Ayah Calvin tak betah di kamar tidur tanpa pendingin udara. Sungguh, sama sekali bukan karena itu. Sakit merampok kualitas tidurnya. Malam-malam panjang yang ia lewati dalam sakit sungguh tak enak.
Pria yang belum hilang gurat ketampanannya iu menatap hampa pesawat televisi. Benda selebar 29 inchi itu dibiarkan menyala. Menampilkan pewara cantik yang tengah membacakan berita kerakusan pejabat menggasak uang rakyat. Jiwanya tak tersangkut pada tayangan berita pagi. Muak sudah ia dengan TV lokal. Sayangnya, di sini tak ada TV kabel.
Ingat, ini bukan White Mansion. Siap-siap kecewa bila berharap ada AC, TV kabel, dan decoder untuk menonton Youtube. Tak apa, tak apa. Demi cintanya pada Silvi dan Bunda Manda, Ayah Calvin bisa beradaptasi di tempat yang jauh lebih sederhana dari istananya di kaki gunung sana.
Jangan takluk. Sakit ini tidak boleh membuatnya bertekuk lutut. Kalau saja tak mendengar larangan Bunda Manda semalam, dapat dipastikan Ayah Calvin akan mengantar Silvi ke sekolah. Tak rela pria itu jika melihat putrinya bergandengan tangan dengan jewelry sibling. Setelah melalui perdebatan alot, Ayah Calvin setuju dengan syarat: Silvi tidak boleh diantar Nanda atau Barki.
"Sayang, ini rotinya. Hampir ketinggalan."
Merdunya suara Bunda Manda menembus pintu kayu gelap yang sedikit terbuka. Sengaja Ayah Calvin memberi sedikit celah di pintu kamarnya agar bisa melihat apa yang terjadi di luar. Sekali lagi, ini melampaui kebiasaan. Lone wolfe garis keras macam dirinya terbiasa menutup rapat pintu kamar.
"Oh iya. Makasih, Bunda." Terlihat Silvi memasukkan kotak roti ke tasnya.