Malaikat dan Bidadari di Reunite
Tanpa hadirnya Ayah di sampingku, mungkin diriku takkan setenang ini. Di pelataran mall, malaikat tampan bermata sipit itu mendekapku erat. Tangan hangatnya mendarat di rambutku.
Mall masih sepi. Kuedarkan pandang ke arah meja-meja pendaftaran, karpet, barisan kursi, booth, dan lalu-lalang pengunjung. Sesekali aku bersitatap dengan Ayah. Ayah tersenyum menawan memperhatikan lekuk sempurna wajahku.
"Ayah, aku cantik ya?" tanyaku.
"Iya. Tanpa perlu perawatan, kamu sudah cantik."
Aku tertawa tertahan. Ayah tidak tahu saja. Kulitku tipis dan sensitif. Lihatlah, urat-urat pembuluh darah terlihat halus di wajahku. Lambat laun tawaku berubah menjadi rengutan.
"Kenapa, Sayang?"
"Tadi sewaktu tidak ada Ayah, ada seorang bapak tidak dikenal yang colek pipiku dan menyebutku 'cakep'." Aku mengadu.
"Ya, putri tunggal Ayah memang cantik. Tapi tidak seharusnya kamu diperlakukan begitu. Maaf ya, Ayah kurang sigap menjagamu."
Kami duduk di depan cafe tempat pelaksanaan workshop. Ayah, dengan gaya observantnya, memandangi kesibukan di penjuru mall. Dia tanpa ragu menjelaskan apa yang dilihatnya padaku. Saat mata Ayah melirik kemana-mana, tanganku leluasa menggores luka yang setengah sembuh.